Kamis, 21 Juli 2011

Sunat Perempuan Dikecam LSM


Peraturan Mentri Kesehatan RI No. 1636 yang ditandatangani oleh dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH. Dr.PH tanggal 15 November 2010 mendapat respon penolakan dari para aktivis perempuan dan LSM.  Ada sekitar 178 LSM yang mendeklarkan penolakan peraturan ini. Mereka mengadakan jumpa pers pada tanggal 23 Juni 2011 di Bakoel Koffie Jalan Cikini Raya No. 25, Jakarta Pusat, pukul 14.00-15.30 WIB. Jumpa pers ini dipelopori dan diwadahi oleh LSM Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan.

LSM yang tergabung antara lain Kalyanamitra, LBH Apik, Aceh Peace Consultative Management/APCM2, Aliansi Pelangi Antar Bangsa, Asian Moslem Action Network (AMAN) Indonesia, Barisan Perempuan Indonesia, CEDAW Working Group Initiative, Center for Human Rights Law Studies (HRLS), Demos, Fahmina Institute, Human Rights Working Group (HRWG), Indonesia AIDS Coalition dan lain-lain.

Mereka membuat sebuah pernyataan sikap bersama yang mengatasnamakan dari masyarakat sipil dan Amnesty Internasional. Bahwa pihak berwenang Indonesia, dalam hal ini Mentri Kesehatan RI dan Presiden RI harus selekasnya mencabut Peraturan Mentri Kesehatan RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010 tentang Sunat Perempuan yang dikeluarkan pada November 2010 dan sebaiknya menerapkan peraturan khusus dengan hukuman yang pantas untuk melarang segala jenis praktik sunat perempuan, baik secara simbolis, perusakan alat kelamin perempuan hingga praktik mutilasi atau pemotongan alat kelamin perempuan di Indonesia.

Medikalisasi praktik sunat perempuan oleh petugas kesehatan, baik dengan tindakan pengirisan, pemotongan atau pengguntingan, maupun perusakan alat kelamin perempuan dan sekitarnya. Sebenarnya ini telah dilarang oleh Departemen Kesehatan RI melalui Surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan No. HK.00.07.1.3.10.47 pada tanggal 20 April 2006 yang ditandatangani oleh Dr. Sri Astuti Soeparmanto, M.Sc. (PH).

Dikeluarkannya Permenkes tentang sunat perempuan justru menurut mereka bertolak belakang dengan Surat Edaran tersebut, dan merupakan suatu kemunduran bagi penegakan hak asasi perempuan oleh Kementrian Kesehatan RI.

Permenkes tentas Sunat Perempuan melegitimasi praktik sunat perempuan. Bahwa disebutkan pada BAB II pasal 4 ayat 2 poin g mengenai pelaksanaan sunat perempuan dilakukan dengan prosedur tindakan, yaitu lakukan goresan pada kulit yang menutupi bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum steril sekali pakai berukuran 20G-22G dari sisi mukosa ke arah kulit tanpa melukai klitoris. Peraturan tersebut juga memberi otoritas pada pekerja medis tertentu, seperti dokter, bidan, dan perawat untuk melakukannya dalam BAB II pasal 2 tentang penyelenggaraan sunat perempuan.

Menanggapi hal tersebut, Rena Herdiyani, Executive Director Kalyanamitra mengatakan bahwa berdasarkan penelitian yang ada di dalam Surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat nomor HK.00.07.1.3.1047a ini tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan telah melarang medikalisasi sunat perempuan. “Praktik sunat perempuan ini tidak ada manfaatnya bagi kesehatan  perempuan. Malah justru berdampak negatif yang berpotensi menimbulkan pendarahan, kesakitan, penderitaan serta hilangnya kenikmatan hubungan seksual bagi perempuan,” ungkapnya kepada Ageng Wuri R. A. dari GATRA, Kamis (23/06) di Bakoel Koffie Cikini Jakarta Pusat.

Dalam Surat Edaran tersebut, tertulis bahwa penelitian praktik sunat perempuan di Indonesia telah dilakukan oleh Kementrian Pemberdayaan perempuan dan Population Council di Madura, Banten, Padang, Padang Pariaman, Serang, Kutai, Kertanegara, Sumenep, Makasar, Bone, Gorontalo, Bandung, pada tahun 2002-2003 yang disebut dengan Medikalisasi Sunat Perempuan (WHO).Penelitian tersebut menghasilkan banyaknya praktik sunat perempuan yang berubah dari simbolis menjadi perusakan alat kelamin berupa pengirisan, pemotongan atau pengguntingan, baik oleh dukun maupun tenaga kesehatan.

Walaupun pernyataan dalam surat edaran, menurut Rena kurang lengkap, namun sebenarnya sudah menjelaskan bahwa suant perempuan berdampak buruk terhadap perempuan. “Kalau yang melakukan adalah dukun-dukun bayi, mereka kan tidak tahu higienis yah dengan alat yang mereka gunakan itu bisa infeksi alat kelamin perempuan,” ujarnya.

Menurut Rena, sebagai perwakilan dari LSM perempuan, filosofis atau tujuan dari praktik sunat perempuan ini alasan kebanyakan diperbolehkan adalah karena tradisi dan agama. “Itu tujuan utamanya adalah untuk menekan hasrat seksual perempuan. Bukan untuk manfaat kesehatan, kalau laki-laki disunat memang berdasarkan penelitian untuk kesehatan, untuk kebersihan dari alat kelaminnya laki-laki. Kalau perempuan tuh nggak ada manfaatnya, itu lebih kepada praktik budaya, itu bukan ajaran agama,” jelasnya.

Berbicara mengenai teks-teks yang lebih kemprehensif lagi, Rena katakan bahwa sebenarnya sunat perempuan tidak dianjurkan oleh agama. Berbagai alasan yang membuat sunat perempuan ini bergulir, seperti agama, tradisi turun-temurun, atau kebiasaan dari keluarga. “Jadi yang tadinya ikut-ikutan, malah mereka minta anak bayinya itu disunat sama bidan atau dukun. Tadinya dengan surat edaran larangan medikalisasi ini justru si bidan itu kalau dimintakan tolong sama orang tuanya dia kan bisa menolak atau melarang. Ada legitimasi, tidak bisa kita kan sudah mengeluarkan surat edaran ini,” paparnya.

Kemudian munculah Permenkes untuk memperbaharui surat edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. “Peraturan mentri kesehatan ini yang justru mengatur malah, caranya malah diajarin di sini, bukannya dilarang. Caranya adalah dengan ujung jarum steril,” tuturnya.

Walaupun dalam Permenkes tidak melukai klitoris, Rena berpendapat berbeda, dan mengkhawatirkan bahwa penggoresan kepada klitoris siapa pun tidak berani menjamin akan terluka, karena alat vital perempuan itu lembut dan sensitif. “Memang di sini ditulis tanpa melukai klitoris tapi kan siapa yang mau menjamin ya, cuman kan prakteknya siapa yang tahu yah bidan-bidan, dokter-dokter itu, di ujung-ujugng desa yang dikampung-kampung, kan nggak tahu yah orang yang di pedalaman. Malah bisa infeksi kalau mereka jarumnya nggak steril,” paparnya lagi.

Ia berpendapat bahwa seharusnya para Mentri yang berwenang seharusnya memberikan perlindungan bukan membiarkan. “Ini malah melanggenggkan praktik kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Ia mengusulkan Surat Edaranlah yang seharusnya ditingkatkan menjadi Permenkes mengenai pelarangan sunat perempuan. “Surat Edaran  inilah yang ditingkatkan menjadi Permenkes yang intinya adalah melarang medikalisasi sunat perempuan,” katanya. Selain itu, harus ada sanki tegas baik bagi tenaga medis, maupun dukun-dukun yang melakukan praktik sunat perempuan.

Dalam surat pernyataan bersama yang saya baca pun juga tertulis bahwa ada tiga poin permintaan mereka yang tergabung dalam organisasi LSM maupuan aktivis peduli perempuan mendesak pemerintah untuk mencabut Permenkes No. 1636 November 2010 tentang sunat perempuan dan memastikan bahwa peraturan tersebut mematuhi sepenuhnya ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam CEDAW.

Kedua Surat Edaran tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan No. HK.00.07.1.3.1047a yang dikeluarkan Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat tahun 2006 dapat diberlakukan secara konsisten dan diperluas terhadap semua pihak di masyarakat khususnya yang menangani masalah kesehatan serta ditingkatkan statusnya menjadi Permenkes. Dan ketiga, melaksanakan publik kampanye peningkatan kesadaran untuk mengubah persepsi budaya yang terkait dengan sunat perempuan.

Rena mengatakan bahwa Permenkes ini bertentangan dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan. Selain itu juga bertentangan dengan undang-undang yang ada di atasnya. “Jadi ini bertentangan secara hukum dengan undang-undang yang lainnya,” tegasnya.

Seperti Undang-Undang  perlindungan anak No. 23 tahun 2000; Undang-Undang kesehatan No. 23 tahun 2009 dan bagian keenam tentang Kesehatan Reproduksi ; Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999; CEDAW No. 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi International tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; Undang-Undang No. 5 tahun1998 tentang Ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) No. 5 tahun 2004 dan pasal 5 tentang larangan melakukan kekerasan fisik.

Ia mengingatkan bahwa Internasional dalam hal ini PBB khususnya komite CEDAW, sudah menyatakan bahwa sunat perempuan dilarang. Komite CEDAW, ujar Rena, juga telah mewajibkan setiap negara yang sudah meratifikasi Konvensi CEDAW untuk  membuat kebijakan yang menghapuskan praktik sunat perempuan. “Dan juga satu lagi ada di PBB komite CAT namanya, komite anti penyiksaan, itu juga dia sudah menyatakan bahwa sunat perempuan ini adalah salah satu bentuk penyiksaan, karena menimbulkan penderitaan dan kesakitan bagi perempuan,” ungkapnya.

Pelapor atau special rapporteur dari PBB dalam pernyataan Rena di atas adalah bernama Juan E. Mendez . Ia membuat sebuah pernyataan pada saat acara Internasional, 1 Juni 2011. Mendez mengatakan bahwa sebenarnya kebijakan-kebijakan sunat perempuan atas nama kebiasaan, tradisi, ataupun agama harus sudah dihapuskan dan tidak diperbolehkan. “Jadi sudah banyaklah dunia Internasional,” katanya.

Di sudut pandang agama, dalam keputusan fatwa yang dikeluarkan MUI No. 9A tahun 2008, berjudul Hukum Pelarangan Khitan Terhadap Perempuan, berisi mengenai status hukum khitan perempuan, yaitu Makrumah artinya pelaksanaannya sebagai suatu bentuk ibadah. Selain itu, larangan khitan perempuan menurut fatwa tersebut adalah bertentangan dengan ketentuan syariah karena khitan bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah dan syar’i.

“Judulnya memang hukum pelarangan tetapi isinya dia bilang khitan perempuan itu adalah suatu bentuk pelaksanaan ibadah dan hukum atau kebijakan yang melarang khitan perempuan itu bertentangan dengan syariah,” tuturnya.

 Dijelaskan Rena, Surat Edaran dari Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, bertentangan dengan syariat Islam. Fatwa yang dikeluarkan MUI ini adalah mengecam atau merespon Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes. “MUI melakukan pelarangan terhadat Surat Edaran ini, makanya dia melakukan penekanan dan melakukan lobi kepada kementrian kesehatan, makanya keluar Permenkes ini, Kementrian Kesehatannya tertekan sama MUI ini termasuk Kementrian Pemberdayaan Perempuan. Dua-duanya diteken oleh MUI. Permenkes ini sudah disosialisasikan pasti oleh Kementrian Kesehatan kepada tenaga medis itu dan katanya mau ditingkatkan statusnya,” paparnya.

Rena berargumen bahwa MUI ini menggunakan ayat-ayat yang tekstual dan kaku. Mereka tidak melihat fakta-fakta yang ada di lapangan. “Bahwa sunat perempuan itu banyak dampak negatifnya buat perempuan. Mungkin harus dikaji lagi hadis-hadis atau ayat-ayat yang lain yang menyatakan bahwa khitan perempuan itu tidak dianjurkan,” jelasnya.

Saat ini, selain konferensi pers, Kalyanamitra dan gabungan LSM dan organisasi perempuan tengah melakukan upaya-upaya untuk mengadakan audience bersama mentri kesehata, pemberdayaan perempuan, Presiden RI, dan MUI. “Kita belum tau itu kapan, karena waktunya kan susah mereka. Ini kan seharusnya jam 10.00 ketemu mentri, dibatalin karena ada rapat, kayaknya ngebahas Ruyati kayaknya,” lanjutnya.

***

Sementara itu, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH. Dr.PH, Mentri Kesehatan RI yang tidak bisa ditemui wawancara, karena kesibukannya merespon adanya penolakan Permenkes tersebut dari para koalisi LSM perempuan. “Besok saya sibuk sekali. Rapat mulai jam 8 pagi sampai malam, berbagai rapat. Intinya: saya sendiri sangat tidak setuju sunat perempuan, terutama tentunya yang berupa praktek mutilasi genital seperti yang dilakukan di Afrika,” ujarnya kepada Ageng Wuri R. A. dari GATRA, kamis (23/06) melalui pesan telepon genggam.

Dijelaskan oleh Endang bahwa Permenkes tersebut sudah melalui pembahasan dengan berbagai pihak, dan masih ada pihak-pihak yang menyatakan bahwa sunat perempuan wajib dilakukan. “Karena itulah, Permenkes yang baru tersebut mengatur dengan tegas agar hal itu hanya boleh dilakukan oleh tenaga dokter, bidan atau perawat. Atas permintaan orang tua dan dijelaskan tindakan apa yang boleh dilakukan. Yaitu menggores saja penutup klitoris,” terangnya.

Menurutnya, sunat perempuan dalam Permenkes itu tidak ada yang dimutilasi. Ia menyadari bahwa dalam kenyataanya mungkin masih ada penyimpangan dalam pelaksanaan sunat perempuan, seperti sunat oleh dukun dan sebagainya. “Inilah yang akan kami hilangkan. Tidak mudah, karena hingga kini masih bantak persalinan ditolong dukun. Perlu diketahui, Permenkes tersebut sudah dibahas bersama stakeholders yang terkait, termasuk Kementrian PPPA,” tambahnya lagi.
Permenkes tersebut, Endang katakan telah dibahas bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Ikatan Dokter Indonesia (Kemeneg PPPA), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekolog Indonesia (POGI).

“Karena sewaktu ada peraturan dirjen yang melarang sunat perempuan, maka sunat tetap dilaksanakan, tetapi oleh bukan tenaga medis atau paramedis. Sehingga malah membahayakan,” ungkapnya. Karena itu, Kemenkes berpendapat bahwa sebaiknya hal ini diatur ketat dengan Permenkes, agar tidak ada yang melukai klitoris ataupun penutupnya (frenulum).

Secara medis, Endang memastikan bahwa sampai saat ini tidak ada indikasinya dan belum terlihat manfaatnya dari sunat perempuan dalam Permenkes. Praktik ini juga akan tetap dilakukan atas dasar agama. “Untuk hal ini tentunya silahkan bertanya kepada yang berwenang dalam hal agama,” katanya.

Diterangkan Endang bahwa menggores frenulum tidak berpengaruh pada kepuasan hubungan seksual perempuan. “Hal tersebut lebih tergantung pada sensasi dan pikiran seseorang,” ujarnya. Ditekankan Endang bahwa seharusnya penggoresan ini tidak berdarah. “Sunat Perempuan yang ditentang di dunia adalah sunat yang bersifat mutilasi, baik sebagian maupun seluruh genital perempuan, yang sangat mengerikan di beberapa negara. Di Indonesia hal tersebut  dilarang,” tutupnya.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;