Selasa, 29 Maret 2011 0 komentar

Ichsan: Saya Memang ikut ke Tanjung Priok

Ichsan Soelistio anggota Komisi 3 membenarkan bahwa ia ada di dalam bis ketika bersama anggota komisi 3 yang lain melakukan sidak ke Bandara Soekarno Hatta yang kemudian mendadak berbelok ke Tanjung Priok. Pada hari Selasa pukul 09.00 di ruang kantornya, Nusantara 1 DPR, yaitu 703 beliau menceritakan kronologis kejadian disana yang ia lihat dan dengar.


“Saya akan menceritakan kronologis kejadiannya yang saya ketahui. Sidak ke Bandara Soekarno Hatta, setelah selesai kita naik bis, di perjalanan tiba-tiba ke Tanjung Priok, ya sudah saya ikut saja karena sudah di dalam bis. Sampai disana saya sendiri terus terang tidak mengikuti rapat dan tidak di dalam ruang rapat itu. Jadi apa pun pertanyaannya itu saya tidak tahu,” jelasnya.

Waktu rapat tersebut dibuka Ichsan tidak mengikuti dan setelah itu keluar. “Jadi saya diluar saya ngobrol dengan Kapolres KP3. Jadi apa pun pertanyaan disitu saya tidak tahu. Setelah itu saya pulang,” ujarnya.

Dirinya memang mengaku ada di dalam bis dan ikut berbelok ke Tanjung Priok, tetapi dia tidak mengetahui apa tujuan tiba-tiba berbelok ke tempat tersebut. Dia hanya mengikuti saja dengan rombongan yang telah melakukan sidak ke Bandara Soekarno Hatta. “Saya memang ada di bis tetapi saya tidak ikut rapat dengan Bea Cukai di Tanjung Priok itu. Karena kan saya pikir tidak enak berangkat sama-sama pulang sama-sama dong. Lalu bisnya mendadak ke Tanjung Priok. Ya kalau sudah sampai sana, saya ya diam saja,” tambahnya.

“Kalau saya hanya menganggap silahturahminya. Setelah salaman rapat dibuka saya keluar. Tentang pertanyaan yang ada di dalam rapat saya tidak mengetahui. Baru setelah beberapa lama kepala Bea Cukainya masuk. Itupun saya ketemunya di luar,” paparnya.

Ichsan Soelistio memang ada di dalam bis hingga berbelok ke Tanjung Priok tetapi dia lihat hanya rapat di kantor Bea Cukai. “Tidak ada yang namanya peti kemas berisi BB dan Miras, yang dilakukan hanya rapat setelah itu selesai pulang kembali lagi ke DPR. Tidak ada pertemuan terkait dengan peti kemas BB dan Miras. Saya tidak mengetahui isi rapat kalau tidak percaya tanya Kapolres KP3, saya diluar ruangan,” ujarnya.

Ichsan juga menambahkan di Bandara Soekarno Hatta memang ada barang-barang bukti ketika penyidakan. Tetapi di Tanjung Priok yang ia lihat sama sekali tidak ada kegiatan penyidakan dan peti kemas berisi BB dan Miras. “Tidak ada kegiatan yang berhubungan dengan penyidakan atau menemukan peti kemas tersebut, yang dilakukan hanya rapat, itu saja yang saya lihat,” tambahnya lagi.

Mengenai siapa yang mengusul untuk berbelok ke Tanjung Priok, Ichsan tidak tahu menahu siapa orangnya, karena ketika berada di dalam bis dia duduk di bangku paling belakang. “Yang mengusulkan mampir ke Tanjung Priok saya tidak begitu jelas siapa orangnya. Karena saya duduk di bagian belakang. Dan tiba-tiba ada usulan ke Tanjung Priok dan saya ikut saja karena udah kadung duduk dan sudah di dalam bis. Karena kan berangkat sama-sama pulang sama-sama. Kalau tiba-tiba belok ya harus ikut dong, masa tiba-tiba pulang sendiri. Soal yang mengusulkan saya tidak tahu, wacana itu begitu saja muncul di bis dan tiba-tiba belok,” jelasnya.

Soal agenda di dalam rapat dengan Bea Cukai di Tanjung Priok, Ichsan tidak mengetahui, karena tidak berhubungan dengan tugas kantor. “Saya tidak mengikuti rapat itu, karena saya tidak mengetahui agendanya dan bukan urusan kantor,” katanya.

Soal laporan ICW ke BK DPR, Ichsan tidak mau banyak komentar karena tidak mengetahui isi dari laporan ICW kepada BK DPR. Namun, jika ditanya sebagai bagian yang ada disitu, ia menegaskan tidak begitu jelas, karena yang ia lakukan hanya sampai pada Bea dan Cukai. “Saya tidak mengetahui soal isi Laporan ICW kepada Badan Kehormatan (BK) DPR, kan Bapak Nurdiman Munir selaku Wakil BK DPR dan Bapak Marzuki sudah bicara soal laporan tersebut. Tapi jika saya ditanya sebagai bagian yang ada disitu saya juga tidak jelas, karena saya cuma sampai di kantor Bea Cukai, saya hanya silahturahmi saja dan tunggu di luar,” jelasnya.

Sekali lagi dia menegaskan bahwa tidak bisa komentar banyak, karena pertanyaan satu pun di dalam tidak ia ketahui dan tujuan kesana pun tidak ia ketahui dan tidak mengerti serta tidak ikut rapat. “Cuma ya seperti saya bilang tadi saya terbawa dan sudah di dalam bis,” katanya.

Ichsan menjelaskan bahwa agenda resmi utama pada waktu itu adalah sidak ke Bandara Soekarno Hatta. “Saya diminta Poksi untuk melakukan sidak bersama yang lain ke Soekarno Hatta, ya saya ikut. Pulangnya naik bis lagi ya saya ikut, eh ternyata belok. Jadi saya kalau ditanya apa agenda dan apa yang dilakukan saya mohon maaf karena apa yang saya lihat ya seperti itu tadi yang saya katakan,” ujarnya.

Dia membenarkan anggota yang ikut di dalam bis itu ada Nudirman Munir (Golkar), Aziz Syamsuddin (Golkar), Eddy Sadeli dan Edi Ramli Sitanggang (Demokrat). “Kalau orang-orang itu memang ikut, tetapi saya tidak mengetahui materinya apa. Mengenai perbedaan pendapat antara Eddy Sadeli dan Edi Ramli Sitanggang saya tidak bisa komentar,” tegasnya.

Ichsan juga menceritakan pada waktu berangkat ada anggota yang di bis dan di mobil, tapi lebih tepatnya dia tidak begitu ingat dan pasti. Ichsan dapat mengkonfirmasi jumlah orang yang hadir di Cengkareng lebih banyak jumlahnya dari pada yang di Tanjung Priok. “Saya tidak ingat. Tapi yang jelas waktu di Cengkareng lebih banyak orangnya tetapi waktu di Tanjung Priok lebih sedikit orangnya. Saya sudah tidak perhatikan lagi karena saya tidak ikut rapat, saya juga tidak tahu. Sekali lagi ya lebih sedikit dari yang dari Cengkareng. Lebih tepatnya saya tidak tahu karena sudah lama sekali, sudah 2 bulan yang lalu pada tanggal 10 Januari,” tutupnya.
Rabu, 09 Maret 2011 0 komentar

Gayus Lumbuun: Ibu Mega Tetap Tidak Hadir Walau KPK Panggil Berkali-kali (Rabu, 23 Februari 2011)

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tidak memiliki relevansi apa pun menyangkut kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom.

“Ibu Mega bukan orang yang berkaitan dengan dugaan kasus yang terjadi di DPR, sehingga tidak layak dijadikan sebagai saksi. Sebab, seperti yang di­je­laskan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan saksi haruslah orang yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri,” ujar Ketua Departemen Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan, Gayus Lum­buun, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta, kemarin.

Selain itu, lanjut anggota Komisi III DPR tersebut, tidak me­menuhi syarat formil dan materil untuk menetepkan Mega sebagai saksi dalam kasus itu.

Seperti diberitakan sebelum­nya, KPK memanggil Megawati sebagai saksi untuk meringankan dalam perkara dugaan suap pe­milihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goel­tom. Itu atas permintaan ter­sangka Max Moein dan Poltak Sitorus.

Mega hanya mewakilkan ke­pada Sekjen PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo yang ditemani anggota DPP PDI Perjuangan Bidang Hukum Trimedya Panjai­tan untuk datang ke KPK, Senin (21/2). Kedatangan Tjahjo Kumolo sudah cukup untuk me­ringan­kan kasus tersebut.

“Saya pikir Tjahjo Kumolo se­laku Ketua Fraksi PDI Per­jua­ngan DPR dan Sekjen PDI Perjuangan sudah cukup untuk meringankan perkara tersebut,” ucap Gayus Lumbuun.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apa yang dititipkan Mega ke­pada Tjahjo Kumolo?
Ibu Mega mengirim surat ingin menjelaskan bahwa beliau tidak bisa terbuka sebagai saksi yang meringankan. Sesuai ketentuan dari pasal 1 butir 27 KUHAP ha­rus­lah orang yang mendengar, melihat, mengalami sendiri. Ibu Mega bukan orang yang berkai­tan dengan dugaan kasus yang terjadi di DPR.

Apa benar Mega tidak me­nger­­ti masalah dugaan suap itu?
Ya, Ibu Mega tidak tahu. Itu kan di wilayah DPR. Ibu Mega ketika itu menjadi Presiden. Jadi, tidak tahu adanya dugaan suap itu.

Max Moein dan Poltak Sito­rus adalah kader PDI Perjuang­an, sehingga tidak ada salahnya Mega memberikan kesaksian untuk meringankan, kenapa di­tolak?
Siapapun orang yang meminta­nya sebagai saksi tentu Ibu Mega bersedia. Kalau beliau berkaitan. Sedangkan ini tidak berkaitan dengan Ibu Mega. Makanya su­dah pas diwakilkan kepada Tjahjo yang mengetahui soal kondisi DPR ketika itu. Lalu Ibu Mega menitipkan surat.

Apa isi surat tersebut?
Isinya adalah Ibu Mega tidak bisa menjadi saksi yang me­ringankan untuk kasus ini. Karena atas dasar KUHAP tadi, Ibu Mega bukan orang yang terkait dalam dugaan kasus yang terjadi di DPR. Surat itu juga me­minta KPK untuk memper­tim­bangkan pemanggilan Ibu Mega yang tidak pada kedu­du­kannya.

Kami menghormati proses penegakan hukum yang dilaku­kan KPK dengan memberikan kesempatan kepada tersangka untuk  menghadirkan saksi me­ringankan sebagaimana di atur dalam pasal 116 ayat (3) KUHP. Hanya saja kami meminta KPK selektif dan harus mengkaji betul apakah terhadap saksi meringan­kan yang dimintakan tersangka sudah memenuhi syarat syarat formil dan materil seba­gaimana diatur dalam pasal 1 butir 27 KUHAP.

Apakah Tjahjo Kumolo su­dah pas menjadi saksi meri­ngan­kan dalam perkara ini?
Ya, itu sudah pas. Sebagai Ke­tua Fraksi PDI Perjuangan tentu mengetahui apa yang terjadi di DPR ketika itu.

 Apa PDI Perjuangan tidak khawatir adanya penilaian ne­gatif atas ketidakhadiran Mega sebagai saksi?
Nggak perlu dikhawatirkan. Orang yang menilai seperti itu berarti tidak mengetahui aturan hukumnya. Kalau tahu aturan hukumnya, tentu tidak menilai seperti itu.

Bekas Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla pernah me­nyatakan kalau dia dalam posisi Mega, tentu siap datang ke KPK, bagaimana tanggapan Anda?
Tentunya masing-masing orang memiliki keterkaitan yang berbeda-beda. Pak Jusuf Kalla mungkin ada keterkaitan dan mempunyai kaitan dan mema­hami perkara ini. Semua saksi harus berkaitan dengan kedudu­kannya. Ibu Mega tidak berkaitan dengan kedudukannya dalam masalah ini. Pasti ada perbedaan-perbedaan. Tidak bisa dianggap semua sama. Ini bukan soal mau atau tidak mau untuk datang ke KPK. Bukan itu ukurannya. Pak Jusuf  Kalla mungkin mengalami, melihat, dan mendengar sendiri. Ibu Mega tidak dalam takaran itu, beliau bersih.

Walau KPK  minta lagi agar Mega datang sebagai saksi me­ringankan, tetap nggak datang ya?
Ya, tetap tak hadir walau KPK panggil berkali-kali, karena Ibu Mega bukan orang yang tahu dan terkait dengan masalah itu. Bukan ka­pasitas beliau untuk hadir, karena kapasitasnya tidak pas untuk memberikan kete­rangan­nya se­bagai saksi me­ringankan dalam perkara ini.

Bagaimana kalau KPK mela­kukan pemanggilan paksa?
Alasan mereka untuk pe­manggi­lan paksa apa. Semua ha­rus jelas kepentingannya. Sebe­rapa penting mendatangkan be­liau, itu harus dipertanyakan ke­pada KPK. (Wawancara saya dengan Gayus Lumbuun)
0 komentar

Sri Woro Budiati Harijono: Gempa Bumi Skala Kecil Diperkirakan Terus Terjadi (Minggu, 27 Februari 2011)

Selama Februari 2011 ini sudah 27 kali terjadi gempa bumi skala kecil di wilayah Indonesia. Kondisi seperti ini diperkirakan bakal terus terjadi.

“Gempa berskala kecil diper­kirakan bakal terus terjadi. Tapi ka­lau gempa berskala besar be­lum dapat diketahui,’’ ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Sri Woro Budiati Harijono, kepada Rakyat Merdeka, di Jakarta.

Tapi, lanjutnya, masyarakat tidak perlu khawatir, karena tidak berpotensi tsu­nami karena gem­panya tidak ber­kekuatan besar. Kecuali di daerah yang rawan gempa serta yang memiliki his­tori gempa yang berkelanjutan.

“Tapi di daerah yang pernah terjadi gempa yang berskala besar perlu diwaspadai. Sebab, bisa saja terulang kembali,” tam­bahnya.

Berikut ku­tipan se­lengkapnya:

Daerah mana saja yang ra­wan terjadi gempa bumi ber­skala kecil itu?     
Sebenarnya hampir semua wilayah di Indonesia berpotensi untuk gempa bumi berkekuatan kecil. Tapi yang rawan adalah meliputi Barat Daya Sumatera, Selatan Jawa, Bali, Nusa­ Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Papua.

Tapi masyarakat tidak perlu khawatir, karena tidak berpotensi tsunami dan tidak berkekuatan besar.

Tahun lalu berapa kali ter­jadi gempa bumi di negeri kita?
Menurut grafik frekuensi gempa bumi yang terjadi tahun 2010 untuk 4,9 skala ricther su­dah terjadi 5.721. Pada tahun ini kemungkinan masih sama atau bahkan lebih.

Apakah ada indikasi untuk gempa berkekuatan besar?
Untuk jangka pendek ini bisa diketahui kapan akan terjadinya. Tapi kalau  dalam jangka panjang bisa diperkirakan bahwa di daerah yang pernah terjadi gempa besar, berpeluang terjadi kembali.

Mengapa gempa skala kecil sering terjadi akhir-akhir ini?
Gempa-gempa kecil terjadi hampir sepanjang tahun, data menyebutkan di Indonesia jum­lah gempa bumi terjadi antara 3.000 sampai 4.000 per tahun. Rata-rata 10 kejadian per hari. Bahkan tahun lalu mencapai 5.721.

Gempa-gempa tersebut hanya terdeteksi oleh seismograph saja. Sedangkan yang dirasakan di atas 5,5 skala richter, sekitar 100 kali per tahun.

Bagaimana BMKG menyi­kapi hal ini?
BMKG mengoperasikan 160 sensor seismic yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia plus sekitar 20 sensor seismik yang terbagi atas 6 mini regional dan dimonitor 24 jam sehari.

Dengan demikian, kejadian-kejadian gempa di Indonesia akan selalu terpantau . Meski demikian ada daerah-daerah yang mag­nitudo gempanya di bawah 3 skala richter, sehingga tidak bisa dimonitor dengan baik dengan jaringan BMKG. Dalam hal ini jika terjadi secara spesifik, maka BMKG akan mengirim tim survei gempa untuk memonitor ke lokasi tersebut. Contohnya ka­sus gempa bumi Trenggalek.

Apakah sudah dilakukan im­­bauan ke masyarakat yang ber­ada di daerah rawan gempa?
Sosialisasi untuk menghadapi gempa bumi sudah banyak di­laku­kan. Tidak hanya melibat­kan BMKG, namun juga insti­tusi lain seperti LIPI, ESDM, perguruan tinggi dan dilakukan melalui talk show, kunjungan ke sekolah, temu muka, juga la­tihan-latihan.

Pada dasarnya gempa itu sen­diri tidak membunuh, tetapi adanya korban karena keruntuhan bangunan yang kondisinya tidak cukup baik untuk tahan terhadap guncangan gempa. Maka, di­imbau kepada masyarakat, agar jika membangun rumah atau fasilitas umum dapat mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat, ten­tang aturan membangun di wila­yah itu. Masyarakat harus mengerti dan memahami tentang gempa bumi dan dampaknya, serta cara meyelamatkan diri.

Apakah gempa bumi ber­skala kecil ini akan terus ter­jadi?
Gempa bumi akan selalu ter­jadi selama dinamika dalam bumi (terjadinya pergerakan relatif antar lempeng tektonik) masih terjadi. Tidak hanya ter­batas pada gempa kecil, namun juga gempa besar dan gempa dahsyat.

Apakah sudah bisa dipre­diksi gempa bumi yang ber­dam­pak tsunami?
Gempa bumi yang berpotensi me­nimbulkan tsunami adalah gempa bumi besar dengan kri­teria: terjadi di laut, magnitu­denya 7,0 skala richter ke atas, dan kedala­man sumber gempa­nya kurang dari 100 km. Dengan demikian, gempa-gem­pa kecil dengan mag­nitude ku­rang dari 5,0 tidak ber­potensi menimbul­kan tsu­nami. (Wawancara saya dengan Sri Woro)
0 komentar

Tifatul Sembiring: Dibuat Suasana Panas Agar PKS Ditendang (Selasa, 01 Maret 2011)

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring menuding ada pihak tertentu yang membuat situasi panas pasca sidang paripurna DPR terkait hak angket mafia pajak.
“Dibuat suasana panas agar PKS ditendang dari koalisi. Saya secara pribadi tidak khawatir tentang itu. Sebab, yang menen­tukan adalah Presiden SBY,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka, Sabtu (26/2).
“Manuver-manuver politik geser sana, geser sini, cari posisi, nggak momentum lagi. Sekarang saatnya bersama-sama bekerja keras untuk mencapai tujuan pe­merintah,” tambah bekas Presi­den PKS itu.

Berikut kutipan selengkapnya:

Nggak khawatir diganti?
Reshuffle kabinet itu wewe­nang Presiden SBY. Itu mutlak hak prerogatif beliau. Jadi, terse­rah beliau saja. Saya sebagai Men­kominfo wajib berjuang ber­sama-sama anggota kabinet  lainnya untuk mencapai rencana kerja.

Apakah isu ini mempe­nga­ruhi kinerja Anda?
Saya tidak terpancing dengan isu reshuffle kabinet. Yang pen­ting, saya bekerja keras dan mela­kukan yang terbaik. Itu hanya pihak-pihak tertentu yang mem­buat keadaan pasca pemu­ngutan suara hak angket pajak menjadi panas. Pihak-pihak tertentu beru­saha melakukan manuver politik untuk kepentingannya masing-masing, sehingga wacana re­shuffle kabinet meluap. Pihak ter­sebut hampir setiap hari mem­bicarakan reshuffle.

Siapa pihak tertentu itu?
Yang ngomong di media itu. Tapi mereka belum baca isi kon­trak politik, tetapi rajin berko­men­tar. Ada yang baru berga­bung, tidak berjuang dan tidak keringat, ikut memanas-manasi keadaan. Ayolah bangun kema­tangan berpolitik bangsa ini. Se­mua ini harus dibangun dengan komunikasi yang baik.

Apa saran Anda melihat si­tuasi politik saat ini?
Pendukung koalisi SBY-Boediono agar tidak menonjol­kan sikap emosional yang sesaat dalam menyikapi kondisi politik yang berkembang saat ini. Yang disayangkan adalah kekuatan besar koalisi tidak dapat dikon­solidasikan untuk menyukseskan program-program pemerintah. Di saat mendatang belum tentu partai-partai mampu mewujud­kan koalisi besar seperti yang ada saat ini. Semua yang sudah ada itu harus disyukuri.

Apa yang dilakukan parpol koalisi pasca sidang paripurna DPR tekait hak angket pajak itu?
Presiden SBY sudah memberi arahan, Setgab haruslah bersikap antisipatif. Saya mengu­tip pen­dapat Presiden, kalau meng­ambil keputusan politik itu se­perti orang terjun paying. Kalau sudah loncat dari pesawat, tidak bisa kembali lagi. Jadi jangan da­da­kan terus, tiba-tiba ada ins­truksi begini dan begitu. Ba­ngun­­lah komunikasi sesuai kon­trak politik itu. Ada level pem­bina, di level menteri-men­teri dan parle­men. Komu­nikasi ini adalah kuncinya.

Apakah ke depan PKS mela­kukan perbedaan atau satu tu­juan dengan Partai Demokrat?
Harus dipisahkan. Jangan di­campur adukkan ya. Kami ber­em­pat, Menkominfo, Mensos, Menteri Pertanian, dan Menristek dari PKS ini ditugaskan oleh PKS di pemerintahan untuk menyuk­seskan program Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Kemudian ada satu masalah ma­fia pajak yang perlu dikomuni­kasikan antara kedua belah pihak. Saya melihat di sini, inti­nya harus ada komunikasi yang perlu ditingkatkan di sektor Se­kre­tariat Gabungan.

Kenapa selama ini kurang ko­munikasi?
Sebenarnya yang menginisiasi awalnya soal mafia pajak ini kan Partai Demokrat. Tapi dalam per­kembangannya Partai Demokrat berbalik arah, men­ca­but dukungan kepada hak ang­ket mafia pajak. Jadi, sekali lagi, ini persoalan ko­mu­nikasi. (Wawancara saya dengan Tifatul Sembiring)
0 komentar

Arifin Panigoro: Demo Goyang Nurdin Halid itu Gerakan dari Bawah (Kamis, 03 Maret 2011)

Calon Ketua Umum PSSI Arifin Panigoro mengaku tidak terobsesi  jabatan dan kekuasaan. Pencalonan itu hanya ingin berkontribusi aktif dan memperbaiki persepakbolaan Indonesia.

“Bukan jabatan Ketua Umum PSSI yang saya tuju, tapi saya ingin memperbaiki persepak­bo­laan Indonesia,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.

Menurut bekas Ketua DPP PDIP itu, kalau memang nantinya tidak terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, dia tetap berkon­tribusi di sepak bola Indonesia.

“Masih banyak tempat untuk memperbaiki sepak bola Indone­sia, tidak hanya melalui PSSI. Mi­salnya saja Liga Primer Indo­nesia,’’ ucapnya.

Berikut kutipan selengkapnya:

Apakah Anda puas dengan hasil Komisi Banding?
Sebenarnya kecewa tapi kita ikuti saja prosesnya. Jika me­mang keputusan banding meno­lak dan verifikasi ditolak, saya terima. Kita ikuti saja bagaimana kelanjutan komite pemilihan PSSI dan Komisi Banding ini.

Menpora dinilai mengin­ter­vensi PSSI, bagaimana tangga­pan Anda?
Saya menganggap itu bukan intervensi, tapi mengingatkan. Menurut saya tindakan Menpora dalam hal ini tepat, karena hanya mengingatkan PSSI agar memi­kirkan kembali dalam mengambil keputusan. Kita hargai tindakan Menpora karena memang kapasi­tasnya untuk bertindak seperti itu.

Jika tidak terpilih menjadi calon Ketua Umum PSSI, apa­kah Anda terus berjuang ?
Saya tidak gila jabatan atau ke­kuasaan. Saya tidak memaksakan hal itu. Yang saya inginkan hanya berkontribusi dan memperbaiki persepakbolaan Indonesia. Saya tidak ingin ramai-ramai rebutan jabatan Ketua Umum PSSI.  Buat saya ini juga sangat menyita waktu.

Bikin capek karena kami juga harus bikin banding segala ma­cam agar lebih baik lagi di kan­cah nasional ataupun Internasio­nal. Ingat bukan jabatan yang saya inginkan. Itu tidak penting buat saya.

Apakah anda meyakini bah­wa di tubuh Komite Pemilihan PSSI ini ada kecurangan?
Kita jangan melihat ke bela­kang. Ada kecurangan atau tidak, yang terpenting, saya mengikuti prosesnya saja dulu. Bagaimana­pun hasilnya harus diterima. Karena sudah berusaha yang ter­baik untuk memperbaiki perse­pak­bolaan Indonesia. Kami su­dah ajukan banding karena berkas kami sudah lengkap tapi kenapa mesti jadi tidak lolos. Kalau jadi­nya seperti ini saya su­dah men­duga sejak awal kalau pencalonan saya sebagai Ketua Umum PSSI pasti ada yang tidak suka. Begitu pula dengan Jen­deral George Toisutta. Kejadian seperti itu saya sudah antisipasi.

Apa yang Anda lakukan ka­lau terpilih menjadi Ketua Umum PSSI?
Saya tidak mau berandai-andai. Keinginan saya hanya ingin mem­perbaiki PSSI dan melatih anak-anak untuk bertanding. Bukan ramai-ramai membicara­kan seperti ini.

Apakah ada alasan menolak ban­ding yang Anda lakukan?
Keputusan yang saya terima adalah penolakan banding terse­but. Tidak ada alasan apa pun dari mereka. Kita ikuti saja alurnya. Kalau banding, saya serahkan ke pengacara saya, dia sudah me­ngurusnya.

Terkait maraknya aksi unjuk rasa menolak pencalonan Nur­din Halid sebagai Ketua Umum PSSI, apa tanggapan Anda?
Kalau soal unjuk rasa, ya itu sudah masuk isu nasional kok. Menurut saya unjuk rasa meng­goyang Nurdin Halid itu baik juga, supaya terasa betul peru­bahannya. Itu gerakan dari ba­wah, bukan oleh kelompok ter­tentu.

Dengan hasil yang masih ti­dak pasti seperti ini, apakah Anda masih optimistis menjadi Ketua Umum PSSI?
Saya tetap optimistis. Pemili­han PSSI sudah menolak verifi­kasi dan banding. Jadi tinggal rasa optimistis yang saya harap­kan. Insya Allah saya akan lolos.

Apakah ada kongres luar biasa?
Saya belum tahu. Kita harus liat perkembangannya dan kepu­tu­san yang jelas dari Komite Pe­milihan PSSI dan Komisi Ban­ding untuk bisa menggelar kong­res luar biasa itu.(Wawancara saya dengan Arifin Panigoro)
 
;