Senin, 24 Januari 2011

Mimpi itu Masih Hidup dalam Diriku

"Dengan Menulis, Aku Melihat Dunia"
~AgengWuri~

Sewaktu kecil pasti kita memiliki mimpi dan cita-cita yang luar biasa dalam benak kita. Apalagi dengan imajinasi masa kecil, kita bisa bermimpi tanpa batas. Semua orang pasti pernah punya mimpi dan cita-cita sewaktu kecil, namun ketika sudah beranjak dewasa ada yang mimpinya terwujud, ada pula yang hanya sekedar bunga tidur. Menurut saya tidak ada kata terlambat untuk sebuah mimpi dan cita-cita sekecil apa pun. Seperti dalam sebuah sepenggal lirik lagu Film Sang Pemimpi sebagai berikut,
"Hidup itu sederhana, berani bermimpi, lalu mewujudkannya".
Ya selama kita masih punya mimpi, wujudkanlah, karena dengan mimpi-mimpi kita hidup dan menemukan kehidupan yang lebih bermakna.

Awalnya, saya bermimpi ingin menjadi seorang Pilot dan Polisi. Waktu itu, saya berimajinasi, jika menjadi Pilot saya bisa terbang keliling dunia dan melihat dunia yang begitu indah dari atas awan. Sedangkan menjadi Polisi, saya bisa menolong orang banyak dan menjadi pelindung untuk orang-orang yang tertindas. Tapi semua itu hanyalah mimpi masa kecil yang penuh semangat. Sekarang untuk menjadi Pilot dan Polisi adalah tidak mungkin buat saya. Pasalnya dari ukuran tubuh yang mungil saja, saya tidak masuk kualifikasi. Namun, mimpi itu tidak begitu saja terkubur.

Semua itu berubah ketika saya duduk di bangku SMA. Ketertarikan akan dunia kebudayaan, membuat saya senang untuk mempelajari Antropologi yang diajarkan oleh Bapak Sriyono. Beliau adalah guru Antropologi sekaligus wali kelas ketika saya duduk di bangku kelas 3 SMA. Perkataan beliau yang selalu saya ingat adalah "tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat di dunia ini, sekalipun itu kebudayaan yang telah dilupakan". Mungkin hal itu, yang masih tertanam di benak saya saat ini, hingga pada akhirnya saya memutuskan untuk mengambil kuliah Sastra Jawa di FIB UI.

Kesempatan untuk mengambil kuliah Sastra Jawa FIB UI adalah hal yang luar biasa buat saya, karena banyak ilmu dan pelajaran yang saya dapatkan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Ya mimpi itu belum terkubur koq, saya masih bisa melihat dunia melalui kebudayaan, yaitu Sastra Jawa. Satu pelajaran yang saya dapatkan kuliah disana, bahwa kita tidak boleh meremehkan hal sekecil atau sepele apa pun. Semua pasti bermanfaat dan ada hikmahnya, hanya orang-orang yang sempit pemikirannya yang mengatakan jika kebudayaan tidak penting atau banyak orang bilang Sastra Jawa masih ada.

Sebuah dunia baru saya temui ketika mengikuti kegiatan Kepramukan di SMA. Yaitu ketika saya menjadi panitia acara Lomba tingkat V penggalang se-Nasional. Saya membantu kepanitiaan Humas dan saat itu ditugaskan menjadi Reporter untuk meliput kegiatan lomba tersebut dan kemudian dilaporkan dalam sebuah buletin yang sederhana. Dunia Jurnalistik dan tulis-menulis membuat saya senang berada di dalamnya. Hingga saya berpikir suatu saat akan menjadi seorang jurnalis, karena dengan menulis saya bisa melihat dunia dan menjadi saksi sejarah. Di bangku kuliah pun, minat jurnalistik saya terapkan di dalam organisasi kemahasiswaan Jurusan yang bernama Majalah Utthana hingga magang menjadi Reporter rubrik mahasiswa di Harian Jurnal Depok. Walaupun tidak bisa berkeliling dunia, setidaknya dengan membaca dan  menulis saya bisa melihat dunia melalui buku.

Setelah saya lulus, kemudian saya putuskan untuk berkarir menjadi jurnalis. Namun, hal itu tidaklah mudah, sampai saat ini pun ikhtiar untuk menjadi jurnalis selalu saya lakukan. Menurut saya, jurnalis adalah sebuah profesi yang menarik, karena jurnalis merupakan orang pertama yang bisa melihat dan mengetahui peristiwa yang sedang terjadi di dunia. Dia pula orang pertama yang melaporkan peristiwa tersebut kepada masyarakat tertentu melalui media masa. Jurnalis juga seorang saksi sejarah, karena setiap peristiwa adalah sejarah saat ini. Menjadi jurnalis adalah sebuah tantangan buat saya, karena jurnalis mengemban tugas yang cukup berat, yaitu harus menyajikan informasi secara jujur tanpa ada yang ditambahi atau pun dikurangi (fakta).

Di sela-sela saat ingin menjadi jurnalis, saya sempat merasakan menjadi seorang guru. Menjadi seorang guru adalah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh saya. Ternyata tidak mudah loh menjadi guru yang harus digugu dan ditiru. Sangat jarang saat ini guru yang seperti itu, mengajar dengan ketulusan hati tanpa embel-embel pamrih dan sertifkasi. Saya sempat tersadar, ketika merasakan bagaimana seninya mengajar di dalam kelas. Jika dahulu tidak ada guru yang mengajarkan saya membaca dan menulis, saya bukan apa-apa saat ini. Saya tidak bisa melihat dunia yang saya impi-impikan. Ternyata saya begitu egois saat bermimpi ingin itu, ingin ini, karena telah melupakan jasa guru. Karena mereka saya dibimbing untuk memiliki mimpi dan meraihnya.
Banyak diantara kita yang melupakannya, karena sudah merasa bisa bukan bisa merasa. Guru adalah profesi yang tidak hanya mendidik dan mengajarkan mata pelajaran saja, tetapi juga "service" sikap dan tingkah laku yang bermuara pada moral bangsa dan negara.

Profesi guru merupakan profesi yang mulia, tapi tidak mudah karena dalam praktiknya merupakan sekaligus ibadah. Jika boleh memilih, saya akan menjadi jurnalis yang memberikan informasi secara jujur kepada masyarakat saja. Dan jika saya diberi kesempatan untuk mengajar, saya akan menanamkan mimpi pada setiap anak-anak, karena dengan mimpi kita bisa memaknai kehidupan. Kelebihan kedua profesi tersebut adalah ladang amal bagi yang menjalaninya. Kesamaanya adalah pada tugas meraka yaitu membangun masyarakat. Kesimpulannya, loyalitas kedua profesi tersebut adalah masyarakat. Salut untuk guru dan junalis Indonesia dimana pun mereka berada.




2 komentar:

Anita's Serenade of Heart mengatakan...

aku juga sedang berusaha jadi seorang jurnalis... etep semangat mbak... salam kenal ^_^

Ageng Wuri R. A. mengatakan...

Salam kenal juga nita :)
Sama semangat juga ya jadi jurnalis, yang terpenting tanamkan keyakinan dalam diri...

Posting Komentar

 
;