Rabu, 16 Oktober 2013 3 komentar

Penunggu Puncak Ancala, Buku Pertama Tak Terduga

Sebenarnya nggak kebayang bisa nulis buku atau punya buku sendiri. Berawal dari ajakan Indra, awal tahun 2013, senior SMA, teman di Pramadewa (Pramuka SMA N 66 Jakarta). Ajakannya bikin gue nggak bisa nolak. Gimana mau nolak, karena diajak nulis buku bareng, kumpcer alias kumpulan cerita. Kemudian, dikenalkanlah gue dengan editor Bukune dan ternyata senior SMA gue juga, teman seangkatannya Indra, namanya Kak Ely. 

Untuk memulai proyek ini, tidak terbayang bagi kami semua akan menulis cerita apa. Yang jelas, kalau bagi gue yang terbayang hanya tulisan traveling, karena hobi gue. Waktu itu pertemuan pertama, kami berkumpul di J.Co Cilandak Town Square. Ditemani teh hangat, kami saling berkenalan satu sama lain. Gue bawa Hanum buat ikutan proyek ini. Harusnya ada Ririen yang gue ajak juga tapi dia nggak bisa datang. Setelah perkenalan. Kak Ely menyampaikan bahwa yang bakal kami tulis ada cerita bergenre horor hiking atau pendakian horor.

Waktu berjalan, kami pun mencurahkan pengalaman-pengalaman horor saat pendakian dalam tulisan. Ada rasa duka, haru dan kengerian yang kami rasakan. Namun, kami tetap mengenang, menghormati dan mendoakan orang-orang yang sudah tiada yang kami ceritakan dalam buku ini. Hingga waktu berselang sebulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, sang editor pun membuat buku ini jadi nyata. Sehingga buku ini bisa jadi terlihat keren dan kece secara design, cover dan bahasa. Akhirnya di bulan Oktober, buku ini sudah ada di barisan Buku Baru Gramedia Bookstore. :))


Gue kasih deskripsi singkatnya..

Penunggu Puncak Ancala

Penulis: Indra Maulana, Sulung Hanum, Ageng Wuri, Acen Trisusanto, Dea Sihotang
Ukuran: 13 x 19 cm
Tebal: 216 hlm
Penerbit: Bukuné
ISBN: 602-220-113-6
Price:
Sales price: Rp38000
Sales price without tax: Rp38000


Aku dan teman-teman penasaran akan keberadaan komplek makam Prabu Siliwangi di puncak Gunung Tampomas. Sesampainya di sana, perasaanku jadi tidak enak. Ingin rasanya segera kembali ke tenda. Aku merasa… ada yang mengawasi.
Sesosok anak perempuan terlihat mengintip rombongan dari balik pohon. Siapa itu? Kulitnya hitam, bajunya lusuh, dan…. Ah, aku dibuatnya gemetaran, tapi kami saling berjanji untuk tetap diam jika menemukan keganjilan.
Perlahan, anak perempuan itu keluar dari persembunyiannya. Sepertinya tidak ada yang sadar bahwa kami tidak lagi bersepuluh, melainkan sebelas. Karena dia kini mengikuti kami di barisan paling belakang.
Dan…, selama berjalan… lehernya yang hampir putus juga ikut bergoyang….
***
Alam tidak hanya menyuguhkan keindahan, tapi juga menyimpan banyak misteri. Dan ini adalah kisah kami, para pencinta alam yang ingin mengalahkan rasa takut.
Dalam perjalanan mendaki gunung, menelusuri gua, menapaki hutan, kami bersentuhan dengan “mereka”—penghuni alam lain yang membuat nyali ciut. Namun, bagi para petualang, ketakutan harus dihadapi. Sebab, ke mana pun kami pergi, mereka akan selalu mengikuti….
Selamat membaca...
Salam Damai untuk Ibu Pertiwi.. 
 
;