Selasa, 07 Juni 2011 0 komentar

Andien Punya Bisnis Fashion

Andien (26), penyanyi Indonesia beraliran Jazz, punya profesi baru sebagai desainer. Penyanyi cantik ini tengah mencoba bisnis mode, yaitu pakaian jas untuk pria dan wanita. Ia mengaku menyukai bisnis mode ini berawal dari pacarnya yang suka memakai jas.  Di tengah kesibukannya manggung, ia sempatkan untuk membuat desain jas. Bersama pacarnya pula ia membangun sebuah toko yang menampilkan jas-jas.

"Yang lagi aku dan cowokku desain itu baju jas. Nama tokonya The NTRS di Plaza Indonesia, lantai 4, unit 14," ujarnya kepada Ageng Wuri R. A. dari GATRA, Sabtu (21/05), di Margo City, Depok.  Perempuan yang lahir di Jakarta, 25 Agustus 1985 ini mengungkapkan bahwa di tokonya itu, jas-jas yang ditampilkan hanya sebagai contoh dan harus dipesan terlebih dahulu.

Soal harga, penyanyi  bernama lengkap Andini Aisyah Hariadi menuturkan bahwa jas yang ia tawarkan dengan harga yang terjangkau. Karena, menurutnya pada dasarnya penjahit yang bagus untuk pakaian jas, harus dengan kualitas dan bahan yang bagus. "Itu range harganya sekitar lima juta ke atas. Di Singapura aja 800 dollar atau 8 juta ke atas. Sementara kita jual dengan harga 2,2 juta memang afordable banget dan dengan kualitas yang menjamin, kayak jahitan dan segala macem," terangnya.

Diutarakan, penyanyi yang memiliki debut album perdana Bisikan Hati ini bahwa target pakaian jas ini untuk anak-anak muda yang baru pertama kali wawancara atau pertama kali kerja. "Mereka yang pada mau ke kawinan, butuh jas segala macem, tapi nggak punya budget kayak bapaknya," ujarnya.

Ia juga menceritakan bahwa jas yang dibuat ini dengan cutting yang jauh lebih mudah. "Kalau kita lihat di hollywood atau italia, orang-orang kan make body fit, dan itu emang agak susah dibikinnya. Kita memang punya taste kesitu," tuturnya. Selain itu. ia juga pernah memakai jas buatannya itu di pelbagai acara saat ia manggung. "Setelah beberapa bulan buka, trus aku pikir pengen banget pakai suit, sementara aku sering pakai dres kemana-mana," katanya.

Pertama kali, jas yang didesain pelantun Pulang ini, dipakainya pada saat Java Jazz 2011. "Dua kali di Panasonic Award 2011 dan yang ketiga kali akau pakai di video klip aku sama ungu �Saat Bahagia� di Film Ungu terbaru berjudul Purple Love 2011," jelasnya. Saat kolaborasi dengan Ungu, wanita lulusan FISIP UI ini bersama dengan pacarnya juga mendesain jas untuk personil Ungu dan mendapat sambutan yang bagus dari masyarakat. "Beberapa temen-temen artis minta juga, gw mau dong suit kayak lo. Keren. Akhrinya aku bikin yang buat cewek, dan baru launch Mei ini," ungkapnya.

Sementara itu, Andien merasa cukup bisnis mode jas saja dulu. Karena, buatnya jas sudah susah buatnya dan tidak bisa asal-asalan. "Kita juga fokus ke kualitas, dan jas itu juga macem-macem banget bentuknya. Tapi kenapa aku milih jas, karena misalnya kalau woman dresses itu sebenarnya itu lebih kayak seasonal gitu, dan orang-orang itu biasanya sudah punya signaturenya masing-masing," paparnya.

Andien memilih jas karena lebih tahan lama dan simpel. "Kalau orang lebih fokus ke satu tempat produksi, ya sudah dia akan bikin disitu terus, karena misalnya cuttingnya sudah enak. Lebih kayak longterm gitu," ujarnya. Tempat menjahit jas-jasnya ini berada di Jalan Kirei No. 14B, Cipete Utara, Jakarta Selatan. "Workshopnya di daerah Darmawangsa," katanya. Untuk proses mendesain, Andien berbagi, bahwa ia tidak menggambar, namun hanya dibayangkan. "Biasanya aku akan ngira-ngira dari sebuah jas yang aku bayangkan, ini lucu banget kalau pakai  bahan ini dan dipadukan dengan ini," ungkapnya.

Sejauh ini, bisnisnya mendapatkan sambutan positif dari masyarakat maupun teman-teman artis. Sampai-sampai ia ditawari oleh penjahit Black Market di Singapura. "Ada toko gitu namanya Black Market dan mereka nawarin untuk buka di sana," katanya. Kedepannya Andien merasa harus ada pembenahan dari marketing dan sisi produksinya.  " Sekarang masih dibenahin, dan masih ngulik jas-jas seperti apa yang bagus, karena permintaan dari customer kadang-kadang macem-macem dan nggak kepikiran di otak aku," terangnya. Ia juga menambahkan bahwa serius menggeluti bisnis barunya ini.

Kemungkinan menggeluti selain jas, Andien mengatakan akan mendesain gaun-gaun untuk wanita. "Kayak dress-dress aku pengennya kerja sama," ujarnya. Namun, untuk pakaian gaun, ia sendiri sebenarnya hanya sebagai penikmat. "Aku nggak mau rancangan aku yang bagus dipakai orang lain, sebel, karena nggak mau sama," katanya. Menurutnya, lain dengan jas, karena pembawaan seseorang yang memakai jas berbeda-beda. "Jas itu bentuknya simpel, tapi itu tergantung attitude," lanjutnya. Mengenai batik yang dipamerkan di Balai Kartini pada saat Hari Kartini bulan lalu, Andien mengkoreksikan bahwa batik itu bukan desainnya, tetapi desain Raden Sirait. 
22 komentar

Terapi Rematik Artritis

Namanya Eva Febriyanti (18) yang bercerita mengenai penyakitnya yaitu rematik artritis. Pelajar SMA ini terdiagnosis penyakit artritis rematoid sekitar tiga tahun yang lalu. Pada waktu itu, yang pertama kali ia rasakan tiba-tiba kaki dan tangan bengkak. Jika ia berjalan dan digerakkan terasa sakit sekali. Kemudian, orang tua Eva membawanya berkonsultasi ke beberapa dokter. Hasilnya menunjukkan perbedaan antara satu dokter dengan yang lain. Bahkan, ada yang menyarankan harus dioperasi, karena ada masalah dengan kelenjarnya.

“Kemudian saya mencoba periksa ke rumah sakit lain dan diminta periksa darah karena takutnya Lupus,” tuturnya. Setelah mendapatkan hasilnya, dokter di Rumah Sakit tersebut menyarankannya untuk bertemu dengan dr. Rachmat Gunadi Wachjudi, Sp.PD-KR  di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

Sontak pada waktu itu, ia merasa kaget dan drop. “Karena saya tidak tahu penyakit apa yang saya derita,”ujarnya. Rasa sakitnya, sangat menganggu aktifitasnya sehari-hari. Ia hanya bisa melakukan sholat dalam keadaan duduk, karena ia tidak bisa sujud atau duduk diantara dua sujud. Jalan pun harus perlahan-lahan tidak bisa cepat. Banyak teman-temannya yang mengatakan bahwa cara berjalan Eva aneh.

Jika menuruni tangga, ia harus menggunakan bokong karena tidak bisa menekuk kaki. “Yang sangat menyiksa adalah badan akan terasa sakit dan kaku pada pagi hari ketika bangun tidur dan jam 6 sore, dimana persendian terasa sakit sekali,” terangnya.

Ketika berobat di dr. Rahmat, Eva diberitahu mengenai uji klinis Tocilizumab. Pengobatan reumatoid artritis baru dari PT. Roche Indonesia. “Langsung saja saya tertarik dan setuju untuk mengikuti uji klinis ini, karena saya pengen cepat sembuh,” katanya. Terus terang, Eva merasa frustasi, karena penyakit ini dan ia ingin bisa kembali beraktifitas seperti dulu.

Setelah menjalani infus yang pertama, Eva merasakan perubahan yang sangat baik. Sekarang ia sudah bisa jongkok dan rukuk ketika sholat. Pembengkakan serta rasa sakitnya pun sudah mulai berkurang. Setelah infus yang kedua, akan memasuki infus ketiga, Eva sudah bisa naik turun tangga dan berjalan dengan normal. “Saya bersyukur telah mengikuti uji klinis ini, karena saya ingin kembali normal seperti teman-teman yang lain dan melakukan berbagai aktifitas,” ucapnya penuh syukur. Eva berharap, mudah-mudahan obat ini dapat membantunya, dan juga pasien artritis reumatoid lainnya.

***

Disamping itu, dr. Predy Setiawan, Head of Medical Management, PT. Roche Indonesia, menjelaskan melalui pesan email (20/05) bahwa penyakit artritis reumatoid merupakan termasuk salah satu penyakit yang sulit diobati. Penderitanya pun terbilang banyak. Jika kambuh, penderita tak bisa melakukan aktifitas sehari-hari. Bahkan, bisa membuat orang terbaring seharian di kamar tidur. Untuk menerapinya, para dokter cenderung melakukan bedah dengan mengeluarkan cairan di persendian. Namun, cara ini tak menyelesaikan masalah, karena sewaktu-waktu penyakit itu kambuh kembali.
Adapula yang dilakukan dengan bedah dengan menggantikan daerah yang rusak. Namun, biayanya yang mahal. Sehingga banyak dokter memilih cara terapi dengan obat-obatan. Beberapa obat rematik sudah diciptakan. Salah satunya yang terbaru adalah tocilizumab. “Obat ini telah dipasarkan diluar negeri  (Eropa, US, Canada, Negara-negara di Asia Pasifik), Di Indonesia, obat ini  sedang dalam proses registrasi BPOM untuk dipasarkan,” tuturnya.

dr. Predy menambahkan pula, bahwa saat ini juga sedang dilakukan  uji klinis fase IIIB untuk memberikan kesempatan pada pasien-pasien reumatoid arthritis derajat sedang dan berat. Di Indonesia mendapat terapi lebih cepat dengan obat ini sebelum obat ini dipasarkan.
Studi klinis di luar negeri yang telah dilakukan oleh para dokter adalah menggunakan metode Mixed Treatment Comparisons. Metode ini membandingkan antara Tocilizumab dengan pengobatan standard yang ada pada saat ini (Methotroxate). “Hasilnya respon keseluruhan dari Tocilizumab menunjukkan hasil yang signifikan lebih baik dari obat biologis yang ada sebelumnya,” jelasnya. Selain itu, obat ini ditunjukkan kepada lebih banyak pasien yang mencapai perbaikan ACR 70 yang lebih tinggi dengan terapi Tocilizumab. ACR merupakan kriteria pengukuran keberhasilan terapi menurut American College of Rheumatology (ACR) adalah ACR20, ACR50, ACR70% perbaikan.

Metode ini berjudul Indirect Comparison of Tocilizumab and Other Biologic Agents in Patients with Reumatoid Arthritis and Inadequate Response to Disease-Modifying Antirheumatic Drugs. Uji klinis ini diterima oleh Badan POM Eropa, yaitu EMEA, Global Consensus Initiative for Outcome Measures in Rheumatology (OMERACT) dan Badan Asuransi Kesehatan di Perancis, UK, dan Canada.

Berbeda dengan uji klinis di Indonesia yang dilakukan pada 5 pusat, yaitu RSCM Jakarta, RSHS Bandung, RS Syaiful Anwar Malang, RS Soetomo Surabaya, RS Sardjito Yogyakarta. Menurut dr. Predy, uji klinis ini mendapatkan sambutan yang baik dari para ahli reumatologi. Pasien artritis reumatoid pun ikut serta dalam penelitian ini, karena Tocilizumab menunjukkan efikasi yang baik. Sehingga bekerja cepat dalam menurunkan peradangan yang diderita  oleh pasien artritis reumatoid.

Uji klinis ini memberi kesempatan pada 40 pasien artritis reumatoid yang termasuk pada kategori sedang dan berat. Serta memenuhi kriteria yang sudah diterapkan (kriteria inklusi) tertentu untuk mendapat terapi Tocilizumab selama 6 bulan. “Saat ini sudah ada 25 pasien yang ikut serta dalam uji klinis ini, dan masih akan merekrut pasien lagi,” ungkapnya.

dr. Predy menjelaskan Tocilizumab bekerja di dalam tubuh pasien yang terdapat protein yang berperan kunci dalam reaksi peradangan. Obat ini akan menimbulkan keluhan-keluhan sistemik, seperti kelelahan, anemia, dan lain sebagainya pada pasien artritis reumatoid, yaitu Interleukin-6 (IL-6). Mekanisme kerja obat ini dengan memblok reseptor IL-6. Ketika Tocilizumab berikatan dengan reseptor IL-6, obat ini memblok proses sinyal dan aktivasi gen oleh interleukin-6. Sehingga reaksi peradangan dan keluhan-keluhan sistemik pada pasien artritis reumatoid dapat diatasi.
Efek samping Tocilizumab yang dapat terjadi pada tahap ringan dan sedang. “Tocilizumab mempunyai profil keamanan yang baik,” ujarnya. Efek sampingnya antara lain infeksi saluran nafas atas, seperti batuk dan flu yang terjadi pada 1 dari 10 pasien. Selanjutnya, kemungkinan efek samping lainnya, bisa terjadi pada 1 sampai 10 pasien dari 100 pasien. Misalnya infeksi paru (pneumonia), infeksi herpes simplex mulut atau kulit, infeksi kulit dengan demam dan gemetar, neutropenia yaitu keadaan kadar neutriphil turun, leucopenia yaitu leukosit turun, kenaikan kadar kolesterol, sakit kepala, pusing, tekanan darah tinggi, sariawan, nyeri perut, SGPT meningkat, kulit merah gatal, oedema di kaki bawah, batuk, sesak, kenaikan berat badan dan infeksi mata (conjunctivitis).

Keampuhan dan keunggulan Tocilizumab ini diakui oleh dr. Predy adalah efikasi yang tinggi dan tingkat remisi yang konsisten. Selain itu, obat ini dapat dikombinasi dengan methotrexate (MTX) atau DMARDs konvensional lainnya pada kasus pasien yang tidak dapat mentolerasin terhadap satu atau lebih DMARD sebelumnya atau sebagai monoterapi pada pasien yang intoleransi MTX atau bila MTX tidak bisa dilanjutkan pemberiannya.

DMARD (Disease modifying arthritis rheumatoid drugs) konvensional, yaitu obat perubah perjalanan penyakit arthritis reumatoid yang konvensional seperti methotrexate. Pengobatan monotheraphy adalah pengobatan hanya pemberian satu obat (Tocilizumab) tanpa di kombinasi dengan MTX, karena ada beberapa kasus pemberian obat MTX dapat membuat pasien mengalami kerontokan rambut, nyeri lambung dan fungsi liver terganggu.

 “Semakin lama obat tersebut diberikan, maka semakin cepat efikasinya dan respon klinis yang cepat,” tuturnya. Perlu diketahui, obat ini juga menghambat kerusakan sendi secara baik, dan mengatasi keluhan sistemik pasien artritis reumatoid seperti kelelahan dan anemia.

Tocilizumab ini terindikasi untuk pasien dewasa artritis reumatoid aktif derajat sedang sampai berat. Obat ini akan memberikan hasil yang baik pada pasien artritis dengan peradangan yang berat (hot rheumatoid arthritis). Selain itu juga dengan gejala sistemik yang berat.

Remisi Tocilizumab bila dikombinasikan dengan DMARD konvensional, setelah diberikan 6 bulan adalah 30.6%. Presentasi ini 10 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang hanya diberikan DMARD konvensional. dr. Predy mengatakan bahwa bila diberikan secara monoterapi, maka remisi sesudah diberikan selama 6 bulan adalaha 33.6%. Presentasi ini, 3 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien yang hanya diberikan DMARD konvensional (MTX). “Bila dibandingkan dengan obat-obat biologis lain, respon keseluruhan dari Tocilizumab menunjukkan hasil yang signifikan lebih baik dari obat biologis yang ada sebelumnya,” paparnya. Obat ini pun masih dalam proses regristasi BPOM.

0 komentar

Komunitas Taman Suropati Chamber

KONSER MUSIK BAHASA DUNIA

Sosok kecil, lucu, lugu, dan menggemaskan berbaris masuk ke atas pentas dari balik panggung. Bocah-bocah itu memegang alat musik dawai di tangan kirinya dan yang kanan membawa busurnya. Mereka tampak rapi dan pas mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam. Semua mata penonton di dalam gedung pun tertuju dan penasaran dengan permainan musik yang akan mereka sajikan.

Itulah penampilan konser musik dari anak-anak Taman Suropati Chamber, bertajuk Musik Bahasa Dunia yang diselenggarakan oleh Komunitas Taman Suropati Chamber (TSC) di Gedung Kesenian Jakarta, pada tanggal 16 Mei 2011, pukul 19.30-22.00 WIB.  Konser musik ini merupakan konser ketiga yang telah diselenggarakan oleh TSC. Harmonisasi nada dalam konser ini dimainkan oleh anak dari usia 4 tahun hingga usia tua, yakni 50 tahun. Sesuai dengan tajuknya, komposisi dari berbagai belahan dunia dimainkan dalam konser ini.

TSC adalah komunitas musik yang didominasi oleh pemain biola. Anggota TSC selalu berlatih pada hari Minggu dari pukul 09.30 hingga pukul 14.00 WIB di Taman Suropati, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat. Saat ini jumlah anggota TSC sebanyak 150 orang dari berbagai usia dan kalangan. Yang terbaru dari TSC ini adalah telah mempunyai 5 pemain dan 5 alat musik Cello. 

Konser dimulai dengan pembuka Sekolah Budhis Ehipassiko BSD yang berjumlah sekitar 19 anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar. Anak-anak ini dominan memainkan alat musik Okulele. Pianika dan suling dimainkan satu anak. Selain itu, juga ada alat musik Gitar klasik yang dimainkan oleh dua anak perempuan.

Penyajian kedua dibawakan oleh Kelas Bibit yang terdiri dari anak-anak kecil, rata-rata berusia 4-10 tahun. Mereka dominan menggunakan alat musik Biola dan membawakan lagu Au Clair De Lalune (Perancis) dan Lihat Kebunku (Indonesia).  Kedua lagu tersebut merupakan lagu anak-anak yang terkenal dari masing-masing negaranya.

Penampilan ketiga menampilkan Kelas Akar yang dibawakan oleh usia anak-anak yang akan tumbuh menjadi remaja. Kelas ini menyajikan tiga lagu, antara lain There’s No Night (Amerika Serikat), Cicak di Dinding (Indonesia) dan Rasa Sayange (Maluku). Kemudian, pergelaran keempat disajikan oleh Kelas Batang yang berkolaborasi dengan Sekolah Budhis Ehipassiko BSD.

Kelas Batang ini diisi oleh usia remaja dengan membawakan kompisisi lagu Bingo (Amerika Serikat) dan Eidelweiss (Amerika Serikat diadaptasi dari film The Sound of Music). Setelah itu, penampilan kelima ada penyajian baru dari alat musik Cello. Alat musik ini dimainkan oleh anggota TSC yang sudah dewasa, sebanyak 5 orang, dan membawakan lagu Aria Amoroso (Italia).

Permainan keenam menampilkan Duet Mom and Son dengan komposisi lagu berjudul Concerto No.2 3rd Movement. Setelah penampilan ini, pertunjukkan diistirahatkan selama 15 menit. Kemudian, pertunjukkan kembali dengan menampilkan Double Quartet. Namun, hanya tujuh orang saja yang dapat hadir kala konser itu berlangsung.

Double Quartet tediri dari 4 pemain Cello dan 3 pemain Biola yang menyajikan lagu Eine Kleine Nachtmusik (Jerman) dan 1st Movement. “Tetap saya bilang Double Quartet kurang dikit, sama teman bolehlah,” canda Ages. Selanjutnya, adalah penampilan kedelapan yang menamai grupnya sebagai O. K. Batavia Mood berkolaborasi dengan Regina Maya. Sesuai dengan namanya, O. K. Batavia Mood ingin mencoba menampilkan “Mood” Jakarta.

Grup ini terdiri dari komposisi alat musik keroncong, antara lain Bass, Cello, Gitar Klasik, Okulele, dan Biola. Dalam kolaborasi ini, Regina Maya melantunkan lagu keroncong berjudul Lambaian Bunga. Kemudian, lagu Keroncong Moritsko didendangkan oleh Ages Dwiharso dengan suara merdu, walaupun sedikit serak. “Maaf suara saya agak kurang baik, karena kemarin abis kehujanan,” ujarnya saat rampung berdendang.

“Bunga anggrek mulai timbul, Aku ingat padamu, Waktu kita berkumpul, Kududuk disampingmu; Engkau cinta kepadaku, Bulan menjadi saksi, Engkau telah berjanji, Sehidup semati”.

Itu adalah sepenggal lirik Bunga Anggrek pada bait pertama dan kedua yang dilantunkan oleh Regina Maya penyanyi keroncong asal kota Bandung. Masih diiringi oleh O. K. Batavia Mood, lagu keroncong ini sebenarnya disajikan dalam Bahasa Belanda, Als Die Orchideien Bloeien. Namun, Regina melagukan dalam Bahasa Indonesia. “Bahasa Indonesia aja,” bisik Regina kepada Ages, saat dipanggil ke atas pentas.

Orkes berikutnya disajikan oleh seluruh anggota TSC. Penampilan ini merupakan gabungan dari Kelas Bibit, Akar, Batang, Ensemble Cello, Double Quartet, dan O. K. Batavia Mood. Pertama-tama memainkan lagu Apuse kokondao (Irian Jaya) yang berkolaborasi dengan Sekolah Budhis Ehipassiko.

Selanjutnya Dondong Opo Salak (Jawa Tengah), Janger (Bali), Subaru (Jepang), Doraemon (Jepang), Dahil Sayo (Filipina) kolaborasi dengan Regina Maya, dan El Chumban Chero (Meksiko). Terakhir, konser ini menampilkan Medley yang berkolaborasi dengan penari anak-anak perempuan dari Sekolah Budhis Ehipassiko, antara lain Dolanan Sore-sore (Jawa Tengah), Sidenta (Medan), dan ditutup dengan lagu Nona Manis (Maluku).

Semua personil Konser Musik Bahasa Dunia pun tampil ke atas panggung, dari TSC hingga para pendukung konser. Anak-anak pun masuk ke pentas dengan rapi, karena diatur oleh Bapak-Ibu guru dan pendamping. “Ini pasukan di belakang yang benar-benar menjaga, ayo mau kemana, ayo mau kemana. Kalau Bapak-Ibunya tidak rajin sudah kabur ke sini, ke sana, terbang-terbangan. Akibat perjuangan mereka, saya yakin Bapak-Ibunya besok pagi minta tukang urut,” guyon Ages sambil mengemong bocah-bocah pengisi konser.

***

Komunitas TSC, berdiri Mei 2007, merupakan gagasan berawal dari sebuah keprihatinan Ages Dwiharso (41) atas gaya hidup metropolitan anak-anak Jakarta masa kini. Ia juga prihatin, karena anak-anak Jakarta tidak mengerti lagi lagu-lagu daerah dan tidak bisa memainkan lagi lagu wajib nasional yang pernah membakar semangat para pahlawan. “Mereka lebih asik pergi ke mall. Saya memberikan kegiatan ini dengan konsep rekreatif dan edukatif,” ujarnya dalam prolog di sela-sela konser.

Dalam prolog konsernya dia mengucapkan rasa terima kasih yang mendalam kepada gurunya. “Barangkali ada guru saya, yaitu Bapak Prof. Ponobanu. Malam ini, benar-benar saya mengucapkan terima kasih, karena Bapak telah memberikan kesempatan,” ungkapnya. Ages menceritakan bahwa ia dulu pemusik jalanan dan gurunya itu yang mengapresiasi permainan musiknya.

Ketua TSC yang lahir di Kulon Progo, 7 Mei 1970 ini, ditemui di belakang panggung pada saat konser selesai, mengatakan bahwa konsep yang disajikan malam ini adalah memulai menyapa bahwa negara-negara lain juga punya lagu. Ia juga menuturkan bahwa visi dan misi TSC ialah melestarikan lagu-lagu daerah dan lagu wajib nasional. Keikutsertaan anak dan istrinya, Yasminka (43) di TSC, buat Ages, merupakan sebagai risiko untuk memberi contoh kepada orang lain . “Ya saya mulai dari keluarga saya,” ujarnya.


Pria yang lulus dari sekolah SPG Vanlith Muntilan Magelang, Institut Pono Banoe dengan kelulusan gelar B. Mus. Ed. (Bachelor of Music Education pada tahun 2005 Tahun lalu, mengatakan bahwa TSC sudah mempersembahkan lagu-lagu daerah dan wajib nasional. “Saya mulai mengajak mereka untuk mengenal juga lagu-lagu dari negara lain. Nah makanya tadi ada lagu dari Jepang, filipina, Belanda, Meksiko,” ungkapnya kepada Ageng Wuri R. A. Dari GATRA, Senin (16/05) di Gedung Kesenian Jakarta.

Menurut Bapak beranak lima, yang tiga diantaranya aktif membantu TSC, bahwa hal itu merupakan suatu bentuk bahwa di luar Indonesia ada musik. “Terlebih lagi anggota TSC membawa alat-alat musik dengan bahasa universal, yaitu membaca partitur,” ujarnya. Bagi Ages, anak-anak TSC ketika duduk dengan siapa pun dan dari negara mana pun, mereka akan mampu bergaul dengan satu bahasa, yaitu bahasa musik.

Soal persiapan konser, Ages berbagi, bahwa di taman terbuka, Taman Suropati, TSC melakukan kegiatan dan latihan bermain musik. “Di sana ada burung merpati, ada orang main sepeda dan ada air mancur. Jadi semua itu sudah alam bermain dan rekreasi,” tuturnya. Dengan suasana yang nyaman seperti itu, TSC mampu mendapat peluang untuk memasukkan inti pelajarannya. “Karena mereka sudah rileks dan enjoy,” ujarnya.

Ages juga menambahkan memilih Taman Suropati sebagai tempat belajar dan berlatih, karena mudah dijangkau serta pohon-pohonya besar dan rindang. Kemudian, keamanan terjamin karena termasuk daerah yang berpengamanan khusus. Untuk konser TSC di GKJ sudah tiga kali, ages katakan, sedangkan di Graha Bakti Budaya (GBB) dua kali, terakhir kemarin, tanggal 12 Mei 2011. “TSC juga pernah mendapatkan rekor Muri untuk kategori komunitas musik taman pertama di Indonesia, bahkan di Dunia,” bahasnya. Selain itu juga, konser di Istana sudah dua kali.

Pesan yang disampaikan TSC kepada khalayak, Ages mengungkapkan bahwa TSC berorientasi pada tujuan, yaitu memberikan pendidikan kepada masyarakat dan terutama anggota komunitas. “Meskipun berlatih di tempat terbuka, tidak di ruangan ber-AC, tidak di tempat tertutup, dan di dalam gedung magrong-magrong. Tapi kita mampu melakukan ini dan ada tujuan,” kata Ages.

Setelah anggota komunitas bermain lagu-lagu bagian dunia, Ages berharap akan membuka wawasan mereka. Bahwa semakin banyak mempelajari musik, semakin mudah pula untuk bergaul dengan kawan-kawan dari negara mana pun.

Meski konser TSC yang bertajuk Musik Bahasa Dunia ini terlihat sukses. Namun, ada pula kesulitan yang dihadapi TSC dalam persiapan konsernya.  “Ketika membawakan lagu anak-anak, supaya berkesan lucu. Itu perlu teknik secara khusus,” tuturnya. Menurut Ages, mungkin pada sekolah-sekolah musik yang konservatori, hal itu lumrah adanya. Tetapi, ketika dilakukan di taman, betapa sulit, karena melebur dengan suara kendaraan di kanan-kiri taman. “Campur dengan suara orang yang berlalu-lalang. Di tempat terbuka, kita tahu betapa “noise”nya Jakarta,” curhatnya.

Untuk mencapai teknik semacam itu, kemudian mendengarkan dan mengecek ulang, Ages mengutarakan benar-benar dibutuhkan kerja keras tim. Anggota TSC sampai saat ini berjumlah 150 orang. “Setiap minggu akan bertambah terus, karena animonya sangat baik,” katanya. Ages mengatakan bahwa akan mencari guru-guru tambahan.

Ia juga menghimbau kepada siapa pun yang ingin menjadi relawan untuk mengajar di Taman Suropati dan mempunyai keterampilan musik, silahkan  menghubungi TSC atau dirinya.  “Kalau tertarik untuk membantu kegiatan di hari minggu,sebenarnya kegiatan ini bersifat “charity”,” ungkapnya. Komunitas  ini juga sudah memberikan sumbangsih yang besar untuk mensejajarkan anak-anak dari berbagai golongan dan bangsa.

Alat musik yang dimainkan oleh TSC pada konser ini mayoritas adalah biola. Kemudian cello dan alat-alat yang lain, seperti gitar, piano, okulele, pianika, recorder, gitar elektrik, dan bass. Bagi bapak tiga anak yang juga pengajar TSC, menambahkan bahwa tidak menutup kemungkinan jika ada yang minat untuk belajar vokal dan akan diajarkan. Dalam konser ini, usia termuda adalah  4 tahun dan tertua 50 tahun.

Dikatakan Ages bahwa TSC menggunakan buku pelajaran, yaitu buku panduan dan selalu dicek setiap saat untuk meningkatkan kualitas. Anggota dari komunitas ini dari berbagai usia, anak-anak, pelajar, mahasiswa-i, karyawan, hingga orang tua. Untuk biaya, Ages menuturkan bahwa biaya belajar musik di TSC cukup saweran dan juga menerapkan subsidi silang. “Bagi yang punya uang lebih silahkan, dan bagi yang tidak punya tidak apa-apa, cukup semangatmu yang lebih,” kelakarnya.

Dipaparkan Ages pula bahwa pendamping anak-anak dalam konser ini, sekitar 14 orang. “Sebagian besar mereka masih keluarga saya, karena saya tidak mampu membayar pemusik, guru-guru musik, dan  ada anak saya tiga orang yang mengajar di sini,” jelasnya. Kemudian istrinya, Yasminka, adalah Manajer TSC dan merangkap sebagai asisten Ages. “Istri saya bagian stres, kalau lagi konser seperti ini tensinya bisa sampai 170. Itulah bagian pernak-perniknya mengajari anak-anak dan kesanggupan kami,” curhatnya.

Seperti yang telah diketahui, TSC juga melakukan kerja sama dengan sekolah-sekolah. Dalam konser ini, menampilkan tarian dari Sekolah Budhis Ehipassiko. Tarian diringi oleh TSC dengan musik medley yang telah dijelaskan di atas pada penutup konser. Enam bocah yang masih berumur sekitar 4-5 tahun menari dan berputar mengikuti irama musik. “Ehippasiko adalah sekolah yang kita datangi untuk sosialisasi musik keroncong. Karena mereka tertarik dengan program ini, kemudian mereka ikut konser,” ujarnya.

Selain itu, TSC juga pernah melakukan kerja sama dengan kelompok keroncong lain. “Contohnya tahun lalu, kami berkerja sama dengan Keroncong Tugu Junior,” katanya. Bagi Ages, TSC tidak menutup diri untuk melakukan kerja sama dimasa yang akan datang. “Mungkin tahun depan kita akan bekerja sama dengan yang lain lagi dan belum tau dengan siapa, kita lihat nanti,” lanjutnya.

 ============================================================================================

Dari Orkes Musik di Taman Suropati, Hingga Simfoni Megah

Siang hari di Taman Suropati, cuaca tidak cukup bersahabat. Hujan membelai rumput hijau dan jalan setapak. Semua basah dan lembab, tapi menimbulkan rasa segar dan sejuk. Sepasang merpati pun menyusup dalam sangkarnya, seperti menikmati suasana nyanyian gerimis. Pohon-pohon rindang menjulang bagai penjaga yang berlindung di bawahnya .

Semua orang mencari perlindungan. Seakan tidak ingin basah dan takut air. Namun, berbeda dengan sekumpulan orang dari anak-anak hingga dewasa yang membawa musik berdawai. Alat itu benar-benar dijaga dan dimasukkan ke rumahnya terlebih dahulu. Mayoritas mereka berlindung di bawah atap, seperti saung terbuat dari kayu. Ada pula bapak-bapak memegang payung dengan menggendong cello dipunggungnya. Di bawah kakinya bersandar biola yang dibungkus oleh rumahnya dan tak lupa dipayungi.

Sejenak mereka berlindung, setelah sebelumnya berlatih memainkan nada-nada dengan biola. Disamping anak-anak itu, orang tuanya pun membasuh dan memberikan seteguk dan dua teguk air. Terdengar candaan dan tawa satu sama lain yang menghangatkan cuaca dingin. Terlihat pula anak laki-laki bermain dengan gerimis dan berguling di rumput dekat saung.

Hujan itu hanya sekejap. Matahari pun masuk menembus daun, ranting, dan dahan pohon hingga menyentuh rumput yang basah. Segera semua orang yang berlindung di saung itu pun bergegas keluar. Semua siap kembali dengan membawa buku yang tertulis partitur nada dan alatnya masing-masing.

Di atas susunan lantai batu yang lumayan lapang, terlihat seorang bocah laki-laki yang mirip boboho. Begitu serius pandangan Abraham Aditya T. Tansil mengaplikasikan nada pada biolanya. Tangan bocah berusia 11 tahun ini mahir menggesek biolanya. Sesekali, ia mengecek ke buku panduan di depannya untuk memastikan gesekannya tidak salah. Didampingi ibundanya, Theresua Maria, dan ayahnya, Aleksander, Abraham merupakan salah satu anak diantara ratusan anak lainnya yang berlatih musik biola di Taman Suropati, Minggu (22/05).

Abraham yang lahir di Jakarta, pada tanggal 22 Nopember 2000 ini merasa senang bisa bergabung dengan TSC, karena memiliki banyak teman.  Siswa  Sekolah Dasar Santo Yosep, Dwi Warna ini menceritakan permulaan bisa bergabung di TSC sejak kenaikan ke kelas 3. Pada saat liburan ia berjalan-jalan ke Taman Suropati bersama dengan Ibu dan Ayahnya. Pada minggu pertama ia turun. Minggu kedua meminta dibelikan biola, kemudian diukur. Lanjut minggu ketiga dibelikan biola dan datang ke Taman Suropati untuk langsung latihan.

“Di sini biolanya distem dulu, digesek-gesek, latih pegang bahu. Dulu aku pakai yang setengah, ini sudah ¾,” celotehnya.  Bocah kelas 5 SD ini, senang belajar di TSC karena juga sering konser di pelbagai tempat. “Ke duta besar Amerika, ke kantor presiden juga pernah yang di istana itu, sama Taman Ismail Marzuki. Ke rumah duta besar Singapura juga pernah,” tuturnya.

Di TSC, Abraham sudah duduk di bangku kelas ranting senior. Dikatakan Abraham, bahwa kesulitan belajar musik di TSC tidak terlalu banyak. Karena pengajar dan kakak-kakak TSC yang sangat membantu dalam mempelajari alat musik biola. “Suka diisengin sama kakak pengajar. Kadang-kadang suka dikelitikin,” ujarnya.

Bocah anak tunggal ini paling suka sama pengajar kelas Akar, namanya Kak Grendi. “Kak Grendi suka ngajak main aku dan bercanda,” katanya. Selain main biola, ia juga bisa bermain Piano atau Orgen yang ia pelajari di Piano Gaia. Pada saat konser (16/05) di GKJ, ada dua guruku yang datang melihatnya. “Kata mereka aku hebat. Trus abis itu aku masuk koran dan aku kasih Ibu guru,” lanjutnya.

Abraham pernah bercita-cita menjadi Astronot dan Insinyur. Namun, setelah dia bergabung ke dalam komunitas TSC. Dirinya semakin mencintai dan menyukai musik terutama biola. Sehingga, membuat dirinya bingung dan belum tau jika kelak besar mau jadi apa. “Kalau sekarang mau belajar musik dulu, jadi pemusik yang baik. Kalau nanti kuliah, kan pasti manggung. Bisa nambah uang jajan sama kasih Ibu,” tutupnya.

***

Sementara itu, Ages mengatakan jumlah peserta TSC saat ini sebanyak 150 orang, yang terbagi dalam kelas-kelas. “Antara lain kelas bibit, akar, batang, dahan, dan ranting,” ungkapnya kepada Ageng Wuri dari Gatra, Minggu (22/05) melalui percakapan telepon genggam, karena dirinya sedang berkeroncong ria bersama keroncong Tugu di Lampung, Sumatera.

Dikatakan Ages, bahwa alat-alat yang dipelajari di TSC selain biola adalah cello, biola alto, dan flute. Untuk biaya perbulan, Ages mengungkapkan hanya cukup merogoh kocek 150 ribu. “Murah dan itu untuk transportasi guru-guru sekitar 9 orang, antara lain biaya copy partitur, operasional, persiapan konser, dan juga biasanya memakan biaya produksi untuk promo, dan lain-lain,” paparnya.

Tenaga pengajar, tambah Ages, adalah bersifat kerja sosial dan untuk biaya hanya dengan penggantian transportasi. Ia memiliki mimpi untuk TSC, agar suatu kelak nanti TSC akan dijadikannya Konservatori Outdoor. “Tekad saya ingin membangun generasi yang cinta budaya, nasionalis, dan punya daya saing yang tinggi terhadap bangsa-bangsa lain,” lanjutnya.

Berkat hasil keliling luar negerinya, Ages dapat hibahan alat musik seperti biola dan cello. Namun, ada kendala, karena hibahan itu butuh proses dari pihak bea cukai. “Itu seperti impor barang, yang saya dengar harus bayar ke bea cukai, duit dari mana saya,” ungkapnya.

Disinggung konser kemarin di GKJ (16/05), dikatakan Ages konser tersebut adalah konser kepercayaan oleh GKJ. Karena, TSC sudah mencapai kapasitas tertentu, dengan kata lain profesional. “Ada orang yang konser di GKJ, bagus tapi bayar. Kalau kita jual tiket, separo dianggap profesional, karena sudah dianggap menghasilkan uang untuk gedung kesenian,” tuturnya.

Meskipun pemasukan konser sedikit, sekitar Rp. 2.000.000,- tapi biaya produksi konser TSC di GKJ minggu lalu tertutupi, seperti pendanaan brosur,  poster dan lain sebagainya. “Kadang-kadang juga gaji saya di tempat juga untuk tambahan, dan untuk membayar fotografer dan yang membantu, jadi kalau mau tau, ya memang begini,” jelasnya.

Pria yang juga pernah mendapatkan beasiswa oleh Graudate School, Washington DC, dalam International Visitor Leader Program (ILVP) sama seperti yang didapatkan Megawati dan Gusdur, berharap bahwa TSC bisa menuju sebuah orkes simfoni yang megah dengan alat-alat yang lengkap. “Kemarin itu masih chamber, jadi orkestra gesek. Bahkan, orkestra gesek pun belum, karena altonya masih sedikit, kalau altonya sudah lengkap, nanti ditambah flute dan clarinet. Kemudian, berlanjut ke terompet, trombon, dan sebagainya. Maka akan menjadi simfoni,” bayangnya.

Untuk menuju sebuah orkes simfoni, diakui Ages perlu butuh banyak waktu. “Namun, mungkin tahun depan saya dengan TSC akan menyelenggarakan konser musik orkes chamber dengan alat musik tradisional dari setiap daerah di Indonesia,” paparnya.

Misalnya, tutur Ages, alat musik daerah Jawa, yaitu gamelan yang masuk terlebih dulu, kemudian baru orkestra yang masuk. Pada tahun depan, Ages murni akan mempersembahkan sesuatu yang sifatnya varian musik dari Nusantara dengan ciri khasnya masing-masing. “Tahun depan akan bertempat di GKJ, tapi belum tau tanggal dan bulan apa,” ungkapnya.

Saat ini, Ages sendiri mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan keroncong dan kebetulan dia diangkat sebagai ketua Perhimpunan Artis Musik Keroncong Indonesia (HAMKRI ) untuk wilayah Jateng dan Jakarta Barat. “Mungkin nanti TSC akan membuat semacam festival untuk anak-anak. Pemain biola dan flute diiringi musik keroncong harus membawakan musik keroncong yang utuh. Ini lebih akurat untuk mengkader musik keroncong sudah lebih akademis dan lebih terakreditasi,” lanjutnya.

***

Suksesnya sebuah organisasi atau komunitas tertentu merupakan dukungan dari orang-orang di balik layar yang mengurusi manajemennya. Suprapto, asisten manajemen TSC, mengatakan bahwa tidak ada kesulitan berlatih musik di taman yang banyak suara bising. “Kalau kita latihan di luar, itu harus membutuhkan power yang kuat, jadi suaranya harus lebih kencang dari suara lain,” ujarnya kepada Ageng Wuri dari Gatra, Minggu (22/05)

Menurut Prapto, ketika sudah latihan di taman, anak-anak akan terbiasa dengan suara mobil dan paling tidak suaranya sama dengan itu. Sehingga, ketika main di gedung powernya sudah lebih kuat. Kendalanya tidak ada, justru malah harus ekstra latihannya .

“Kalau untuk konser, latihan seminggu sekali saja di sini, nah kalau untuk lagu-lagunya itu sebulan sudah dipersiapkan dan dipelajarin serta di sana sudah gladi bersih,” paparnya. Pria yang juga berasal dari pemusik jalanan ini juga menambahkan bahwa pada saat gladi bersih tidak semua lagu yang dimainkan. “Pas hari Hnya, gladi bersih  hanya bloking dan memainkan satu lagu saja,” katanya.

Dikatakan Prapto pula bahwa untuk mengatur anak-anak peserta TSC merupakan tantangan tersendiri. Jika peserta dewasa mudah diintruksikan, beda dengan anak-anak yang tentunya cukup susah dan perlu siasat khusus. “Kadang-kadang di barisan belakang, kalau konser, mereka ada yang berisik, bercanda, dan suaranya bisa tembus ke depan dan mengganggu penonton juga,” tuturnya.

Untuk yang kelas bibit, Prapto bercerita, pada saat konser, mereka dimainkan pertama dan selanjutnya dikumpulkan di ruang ganti. “Kita masukan ke situ ada yang jaga. Mereka boleh bercanda disitu tapi suaranya tidak boleh terlalu keras juga. Jadi sudah kita bagi, siapa yang untuk menangani anak-anak yang bercanda, siapa yang mengatur bangku dan setting di panggung,” jelasnya.

Sementara menurut Prapto, motivasi pengajar TSC, untuk menunjukkan kepada peserta bahwa alat musik biola itu tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak menengah ke atas. Kelas menengah ke bawah pun bisa menikmati. “Seorang guru pasti ada perasaan terpanggil jiwanya, untuk mengajarkan muridnya,” katanya.

Dipaparkan Prapto bahwa untuk pendaftaran menjadi murid TSC, syarat-syaratnya hanya foto copy KTP orang tua, jika masih anak-anak. Atau identitas pelajar dan pas photo 4x6 berwarna sebanyak dua lembar. Serta uang pendaftaran sebesar Rp. 300.000,- dan biaya perbulan Rp. 150.000,-. Namun, jika ada yang tidak mampu, tapi ingin belajar biola, bisa berbicara langsung dengan Ketua dan Sekertaris atau manajer  TSC.

Untuk buku pedoman mengenai teknik bermain biola dan nada-nadanya, Prapto katakan, TSC pun sudah punya. “Kita di sini punya buku sendiri yang disusun oleh Bapak Madong dan Mas Ages,” ujarnya. Buku pedoman TSC berisi teknik-teknik bermain biola, teknik gesekkan yang benar dan nada-nada atau not balok sebuah aransemen. “Untuk lagu-lagunya itu Mas Ages yang buat Aransemennya. Kelas bibit, notasinya disesuaikan dengan kemampuannya. Jadi misalkan untuk kelas bibit, Mas Ages nyari nadanya yang kisaran 1 oktaf itu saja,” ungkapnya.

Prapto juga menuturkan bahwa latihan di taman ada keuntungannya, karena latihan dilihat pelbagai macam orang yang datang, dan secara tidak langsung sudah melatih mental anak-anak. “Beda lagi kalau latihannya di gedung, yang nonton hanya temen-temennya, begitu di panggung grogi,” ujarnya. Sampai saat ini TSC belum menciptakan lagu sendiri, karena masih sesuai dengan visi misinya melestarikan lagu-lagu daerah dan nasional.

“Sampai saat ini di TSC kelas hingga ranting, namun setelah itu masih ada kelas bunga dan buah dan belum diisi oleh peserta, karena masih menunggu kenaikan kelas dari kelas ranting,” ungkapnya. Setelah lulus dari TSC masing-masing anak dibebaskan dan disesuaikan dengan keinginan mereka. “Mau mengajar di sini atau masih mau belajar di sini, itu silahkan. Konser di istana sudah dua kali, pertama acara parade senja dan hari pendidikan nasional,” ujarnya.

Seperti telah diketahui TSC memiliki tim keroncong, bernama Batavia Mood.  Keroncong TSC ini dibentuk setelah TSC berjalan pada tahun 2009.  Keroncong ini dibentuk untuk kombo dari TSC. Latihannya setiap hari selasa dan jumat, di Sanggar TSC di Jalan H. Marzuki No. C 29 Kemanggisan, Jakarta Barat. “Anggota keroncong yang memainkan hanya para instruktur di TSC. Setelah hari minggu kalau mereka selesai mengajar, istirahat sebentar, mereka mulai lagi dengan main keroncong,” tutur Prapto.

Prapto mengutarakan bahwa untuk saat ini, masih banyak pemuda yang kurang minat terhadap musik keroncong. Karena, masih mengganggap bahwa musik keroncong lagu yang bikin ngantuk. “Padahal tidak juga, kalau orang sudah mengerti keroncong, akan bikin ketagihan. Dan keroncong sendiri tidak hanya dimainkan kalem, tapi juga bisa ngebeat,” tegasnya.

Menurut Prapto yang juga memegang elektrik bass, di Batavia Mood, alat musik keroncong di TSC sudah lengkap semua. Bahkan, tutur Prapto, kalau di panggung sudah memenuhi standar. “Maksudnya, kalau di panggung ada juga yang masih ditodong microphone, tetapi keroncong TSC tinggal colok semua. Mau dimainkan akustik bisa, dimainkan sound tinggal colok saja,” jelasnya. Sedangkan, untuk Konga atau Jimbe disesuaikan dengan lagu yang ingin dibawakan. “Kalau yang dikonser kemarin lagunya tidak membutuhkan konga, karena mendayu-dayu,” ujarnya.

Keroncong Batavia Mood beraliran modern keroncong. Konsep tersebut diakui Prapto, agar anak-anak muda masa kini tertarik musik keroncong. Lagu-lagu yang dimainkan pun yang anak muda banget. Misalnya, seperti lagu-lagu rock, top fourty, gun and roses, california, kitaro, dan lain sebagainya. “Itu kita aransemen lagi dengan musik keroncong,” lanjutnya.





 
;