Sabtu, 25 Desember 2010 0 komentar

Arsa Wening, Sang Pejuang Kemanusiaan


            Selasa pagi (21/12/10) yang cerah dan penuh semangat kami peserta Sekolah Guru Ekselensia Indonesia (SGEI) Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa (DD) Lembaga Pengembangan Insani (LPI) pertama kalinya mengikuti program touring ke berbagai tempat penting. Salah satunya pada hari pertama kami mengunjungi Madrasah Ibtidaiyah (MI) As-Syafi’i yang beralamat di Desa Rawabelong, Gunung Sindur, Bogor Jawa Barat. Pandangan pertama yang saya lihat dari sekolah tersebut sangat sederhana dan dekat dengan sebuah masjid yang lumayan cukup besar serta tidak sepi dari doa-doa umat sekitar. Tugas saya mengunjungi sekolah tersebut tidak sekedar sebagai plesir ataupun melancong, melainkan memperhatikan dan mengobservasi sekolah tersebut secara kritis namun juga mengambil pembelajaran dari lingkungan tersebut.
            Setelah ditelisik dan diamati lebih dalam MI As-Syafi’i merupakan sekolah dasar yang baru dibangun oleh penduduk sekitar yang peduli dengan pendidikan. Sekolah yang penuh dengan kesahajaan dari murid-muridnya ini serta gurunya yang saya lihat hanya dua orang, baru memiliki murid kelas 1 saja. Berikutnya, pengamatan saya ke sebuah TK yang jaraknya tidak jauh dengan MI tersebut. Sama seperti MI As-Syafi’i yang ruang belajarnya serba sederhana dan apa adanya, namun tidak menghambat anak-anak untuk belajar. Walaupun dengan ruang yang lumayan sempit dan arena bermain yang kurang luas, anak-anak TK yang menyebut dirinya sebagai Balistung pada saat baris berbaris tetap tersenyum dan ceria mengikuti prosesi pembelajaran mereka. Pembelajaran anak-anak TK Balistung selesai, pengamatan saya pun terhenti.

Sosok Sederhana Penuh Makna
Kami bersama Ibu Evi Kepala Sekolah SGEI mengunjungi rumah seorang laki-laki bertubuh mungil yang bernama Bapak Sunaryo Adhiatmoko. Rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan terlihat tradisional namun nyaman dan penuh kekeluargaan ternyata tempat tinggal seorang anak manusia yang penuh dengan semangat hidup dan inspirator saya. Awalnya saya tak menyangka bahwa beliau adalah penduduk yang telah membina dan mendirikan kedua sekolah tersebut. Pada saat saya berada di MI As-Syafi’i, beliau mengantar kami ke TK, tidak ada yang tersirat dari wajah dan penampilannya yang saya lihat bahwa beliau adalah orang yang hebat di bidangnya.
Bapak Sunaryo Adhiatmoko atau yang sering disebut Arsa Wening berprofesi sebagai jurnalis Koran dan Buletin Republika DD. Arsa Wening yang lahir di Trenggalek, Jawa Timur merupakan nama pena beliau dalam dunia tulis-menulis di Koran maupun Buletin Republika DD. Bukan kebetulan, saya juga menyukai dunia jurnalistik dan sastra, khususnya sastra indonesia dalam hal tulis-menulis yang sempat saya jalani dikala duduk di bangku kuliah.
            Dalam rumah beliau, Arsa Wening membagikan pengalamannya kepada kami mengenai menjadi seorang yang selalu rendah hati dan kunci kesuksesan beliau. Beliau telah malang-melintang dalam dunia jurnalistik. Selain itu, juga telah banyak mengemban misi sosial untuk masyarakat yang masih tertinggal selama bekerja di Republika DD. Dari keliling daerah-daerah yang tertinggal di seluruh Indonesia hingga ke wilayah Asia serta Palestina.
Kehidupan Sunaryo dapat dikatakan sudah lebih dari cukup, namun beliau selalu merunduk seperti filosofi Padi dan berjalan bagai filosofi Air. Filosofi Padi menggambarkan seseorang selalu rendah hati namun berisi. Artinya sosok Arsa Wening merupakan seorang yang memiliki ilmu yang banyak namun beliau tetap rendah hati dan yang terpenting tetap bersahaja.
            Layaknya seperti Air, kehidupan pun harus mengalir bak air yang mengalir dari tempat yang kecil sampai luas, dari sungai hingga bermuara ke lautan. Kehidupan  Arsa Wening yang telah dianugrahi satu putra dan dua putri yang cantik serta lucu-lucu selalu yakin bahwa kehidupan kita yang mengukur adalah Allah SWT dan kita, yaitu manusia yang seharusnya berjalan seperti Air. Dua filosofi tersebut yang saya lihat dari sosok Sunaryo Adhiatmoko yang membawa beliau tetap survive di dalam misinya, yaitu membangun masyarakat.
            Membangun masyarakat yang masih tertinggal secara teknologi kehidupan dan intelektual merupakan hal yang tidak mudah bagi saya. Apalagi saya sebagai peserta SGEI angkatan II yang nantinya akan di kirim ke seluruh Indonesia ke daerah pelosok diamanahkan sebagai guru model yang paling unggul diantara guru-guru lain. Arsa Wening dalam menghadapi kearifan lokal yang berbeda dari kehidupan kita sebelumnya membagi kunci suksesnya. Beliau mengatakan kunci dalam sebuah area baru harus mengosongkan pokiran-pikiran dari tempat tinggal asal dan pasang badan serta seperti seorang yang tidak tahu apa-apa agar dapat membaur dengan masyarakat baru tertentu.
            Sosok Arsa Wening yang saya kagumi adalah sosok yang tidak pernah mengeluh dalam apa yang ada di kehidupannya. Padahal beliau seorang yang dhuafa atau miskin, namun dia tetap bersyukur, karena membuatnya menjadi insan yang thougth dan kreatif. Teringat sebuah kata-kata dari seorang sahabat bahwa Dengan Keterbatasan Mendorong untuk Maju.
Inspirasi yang saya dapat dari beliau yang selalu memaknai hidupnya dan kehidupan bahwa sesuatu yang dapat dibayar tidak selalu dengan uang tapi lebih dari itu, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi umat. Seperti arti namanya, yaitu Arsa Wening yang memiliki arti Pemimpin untuk kata Arsa dan Bening untuk kata Wening, yang berarti Pemimpin yang sebening air dan seperti air yang tenang. Bapak Sunaryo Adhiatmoko telah menjadi sumber kehidupan seperti tirta atau air dan pemimpin yang menghilangkan dahaga bagi masyarakat marginal atau dhuafa. Ageng Wuri R. A.
 
;